Jumat, 04 Oktober 2013

IMAN, ISLAM Dan INSAN KAMIL Part07


MARTABAT  7


MARTABAT  TUJUH,
Tulisan ini, insya’ Allah, akan membincangkan dengan ringkas, tentang ‘’Martabat Tuju’’ unsur-unsur yang ada dalam tulisan dalam kalangan Ahlis-Sunnah wa’l-Jama’ah, adalah tanpa melanggar adab-adab yang dikehendaki terhadap ilmu dan para ulama.
Imam al-Ghazali rd dalam kitab Ihya’ ‘Ulumi’d-Din yang terkenal itu membagi tasauf kepada dua bagian, yaitu tasawwuf mu’amalah dan tasauf mukasyafah.
Tasauf mu’amalah,
ialah berkenaan dengan syarat-syarat seperti bersuci, beribadat, sifat-sifat buruk yang perlu dihilangkan daripada diri dan sifat-sifat yang baik yang perlu dijadikan perhiasan diri. Demikian pula di dalamnya termasuk soal-soal kehidupan seperti nikah-kahwin, usaha mencari rezeki yang halal, dan persoalan-persoalan yang sedemikian.

Tasauf mukasyafah,
Perkara-perkara yang menyentuh hakikat-hakikat tentang roh dan jiwa, hakikat ketuhanan, hubungan Tuhan dengan alam, hal-ahal alam yang kekal abadi yang selain daripada fardu‘ain dalam pembicaraan. Maka boleh dikatakan bahwa pembicaraan tentang ‘Martabat Tujuh’ ini adalah termasuk ke dalam bagian atau bidang yang disebut ‘mukasyafah’ itu.
Amalan-amalan rohaniah itu memang sudah ada pada zaman awal, dan berkembang dengan baiknya, bagimana yang disebutkan oleh ibn Khaldun dalam al-Muqaddimahnya dan juga oleh ulama sufi dalam tulisan-tulisan mereka yang terkenal seperti :
  • Risalah al-Qushairiyyah dan Kashf al-Mahjub,
  • Imam al-Ghazali rd menulis kitab berkenaan dengan tasawwuf yang menyentuh soal-soal akhlak dan pembentukan rohani semacam ‘moderat,
  • Mishkat al-Anwar dan Tahafut al-Falasifah.
  • Al-Maqsad al-Asna yang menghuraikan makna-makna yang sangtat dalam tentang Nama-Nama tuhan. Beliau meninggal dalam tahun 1111.
  • Ibn ‘Arabi rd yang banyak mempengaruhi para sufi.
  • Al-Futuhat al-Makkiyyahnya dan Fusus al-Hikamnya meninggal tahun 1240,
  • Shaikh ‘Abd al-Qadir al-Jilani rd meninggal dalam 1166,
  • Shaikh Abul-Hasan al-Shadhili rd meninggal dalam tahun 1258
Islam yang berkembang dengan Ilmu Mukasafah merupakan sesuatu unsur yang Sangat penting dalam perkembangan Islam, tentang “Martabat Tujuh” ini dikarang di Aceh oleh Shamsuddin Pasai (tahun 1630) karangannya dalam Bahasa Arab dan Bahasa Melayu; tulisannya sistematis, dan memberi huraian tentang ajaran metafisika yang sama dengan gurunya tentang ‘keEsaan yang Wujud’, juga ditambah karangan-karangan :
  • Syams al-Din Antaranya ialah: Jawhar al-Haqa’iq (30 halaman dalam Bahasa Arab), karyanya yangpaling lengkap, disunting oleh Van Nieuwenhuijze, yang membincangkan martabat tujuh dan jalan mendampingi diri sengan Tuhan,
  • Kitab Risalah Tubayyin Mulahazat al-Muwahhidin wa al-Mulhidin fi Dhikr Allah (berbahasa Arab), lapan halaman, diedit oleh Van Nieuwenhuijze, mengandung huraian tentang perbedaan antara kaum yang berpegang kepada tauhid yang benar dan kaum yang mulhid,
  • Kitab Mir’at al-Mu’min (70 halaman) menjelaskan keimanan kepada Allah, RasulNya, kitab-kitabNya, para malaikatNya, akhirat, qada’Nya, dalam akidah Ahlis-Sunnah wa al-Jama’ah (mengikut Imam Asy’ari dan Maturidi rd),
  • Kitab Sharah Ruba’I Hamzah Fansuri, 24 halaman, menjelaskan pengartian wihdatul-wujud,
  • Kitab Syarah Sya’ir Ikan Tongkol (20 halaman, dalam Bahasa Melayu), ulasan 48 baris syair Hamzah Fansuri yang mengupas nur Muhammad dan macam mencapai fana’ fi’Llah,
  • Kitab Nur al-Daqa’iq (dalam 9 halaman, berbahasa Melayu, ditranskripsi oleh A. H. Johns (1953) huraian tentang rahasia ma’rifat , dalam martabat tujuh,
  • Kitab Tariq al-Salikin (18 halaman, berbahasa Melayu), menjelaskan istilah-istilah seperti wujud, ‘adam, haqq, batil, wajib, mumkin, mumtani’, dan yang sepertinya,
  • Kitab Mir’at al-Iman atau Bahr al-Nur, 12 halaman, berbahasa Melayu, membincangkan ma’rifah, roh, dan martabat tujuh,
  • Kitab al-Harakah , 4 halaman, ada yang berbahasa Arab dan ada yang berbahasa Melayu, membincangkan ma’rifah atau martabat tujuh.
  • Kitab Seorang ulama basar Aceh ialah ‘Abdul-Ra’uf Singkel rh (1615?-93). Beliau berada di Mekah dan Madinah selama 19 tahun kemudian kembali ke Bumi Nusantar,
  • Kitab Ahmad al-Qushashi rh, Ibrahim al-Kurani rh, dan anak Ibrahim bernama Muhammad Tahir yang berada di Madinah.
  • Kiatb van Bruinessen (8) Qushashi (men. 1660) dan Kurani (men. 1691) merupakan sintesis tradisi India dan Mesir yang berupa warisan kesarjanaan fikh dan tasawwuf Zakaria al-Ansari rh,
  • Kitab ‘Abd al-Wahhab al-Sha’rani rh di satu pihak dan perlibatan dengan pengambilan bai’ah dalam tarikat-tarikat dari India terutamanya Shattariyyah dan Naqswhabandiah di satu pihak lainnya. Katanya tarikat-tarikat ini diperkenalkan oleh Shaikh Sibghatullah yang menetap di Madinah dalam tahun 1605.
  • Kitab Kurani yang ia adalah seorang bangsa Kurdi,
  • Kitab Tuhfah al-Mursalah mengikut macam pemahaman Ahlis-Sunnah wa al-jamaah,
  • Kitab Syaikh Muhammad bin ‘Abd al-Karim al-Samman rh (men. 1775) di Madinah karangannya metafisika sufi, Murid Syaikh Muhammad bin ‘Abd al-Karim al-Samman, Syaikh ‘Abd al-Samad al-Falimbani kitabnya, Siyar al-Salikin ‘ila ‘ibadati Rabbil-’Alamin.
Yang berdasarkan kepada isi kandungan Ihya’ Imam al-Ghazali rd. setelah meninggalnya Syaikh Samman rh Beliu digantikan oleh khalifahnya Siddiq bin ‘Umar Khan. Maka tersebarlah Ilmu Mukasafah ini dengan meluasnya. Kitab-kitab yang ada Mempunyai huraian-huraian tentang metafisika disebutkan oleh Syaikh ‘Abd al-Samad palembang rh dalam tulisannya Sayr al-Salikin dalam jilid 3. Antaranya ialah tulisan-tulisan karangan ibn ‘Arabi rd seperti Futuhat al-Makkiyyah dan Fusus al-Hikam yang disebutkannya bagi tulisan untuk orang-orang muntahi atau yang berada pada tahap penghabisan dalam perjalanan rohani. Al-Manhalu’s-Safi( fi Bayani Rumuzi Ahli's-sufi): Antara tulisan-tulisan tentang metafisika sufi yang boleh disebutkan seperti tepat bagi beraliran ‘martabat tujuh’ ialah Kitab al-Manhali’s-Safi yang kuat karangan Syaikh Daud al-Fatani rh. Antara ulama yang mengajar kitab itu kepada mereka yang sesuai untuk dipahami ialah alm haji ‘Abd al-Rahman di Wakaf Baru, Kelantan. Beliau mengajar kitab Hikam yang dinisbahkan kepada al-Manhalus-Safi dan beliau menerangkannya mengikut apa yang diterimanya daripada Guru Besar’ Syafi’ Kedah rh.
التصديق فى علمنا ولاية صغرى
Ketahui olehmu Hak Subhanahu wa Ta’ala itu beberapa martabat :
Ahadiah Yaitu martabah ‘la ta’ayyun’, yaitu ‘kunhi zat’ (semata-mata Zat Allah ta'ala tiada lainnya), kedua ‘wahdah’ dinamakan‘ta’ayyun awwal’ yaitu ibarat ta’luk IlmuNya akan ZatNya dan akan sifatNya dan akan segala yang maujudat atas jalan ijmal, maka dinama dia Hakikah al-Muhammadiyyah (bukan nabi Muhammad saw. yang di Mekah dan Medinah menjadi zahir itu), ; ketiga wahidiyyah dinamakan dia ‘ta’ayyun thani’, yaitu ibarat daripada ta’aluk ilmuNya akan ZatNya dan segala SifatNya dan segala maujudat atas jalan tafsil (terperinci satu demi satu, tetapi masih dalam Ilmu Allah yang Kadim dan azali), dihakikatkan insaniah (tidak bersangkut dengan manusia itu lagi, sebab ini belum ada apa-apa). Maka ketiga martabat ini (martabat Ahadiah, Wahdah dan Wahidiyyah) itu kadim dinamakan martabat keTuhanan.
Martabat Ahadiah, martabat yang Pertama :
Ia, yang dikatakan martabat keTuhanan (belum ada apa-apa yang lain),  diumpamakan ‘dalam hatimu menginginkan membentuk sesuatu simbul dan huruf ataupu angka (belum adanya noktah/kertas dan pena), disebut ‘itlak’ yakni setelah ada sesuatu (dalam hati) dan disebut ‘la ta’ayyun’ yakni belum ada kenyataannya (tulisan), sebab belum adanya kertas dan pena.
Martabat Wahdah, martabat yang keDua :
Ia, yang dikatakan martabat Wahdah itu dimisalkan, umpama noktah/kertas yang kosong, belum dibentuk simbul dan huruf ataupun angka. maka noktah/kertas itu asal segala huruf, yakni menerima lagi mengandung segala huruf yang hendak ditulis/disuratkan, ijmalnya akan berhimpun di dalamnya noktah/kertas itu segala tulisan namun tiada ada kenyataan huruf, sebab tangan belum bereaksi untuk menulis-(sudah kelihatan wadah/tempat untuk dituliskan namun masih di dalam hati belum dizohirkan melalui gerakan tangan).
Martabat Wahidiyyah, martabat yang keTiga :
Ia, yang dikatakan martabat Wahidiyyah itu dimisalkan, umpama 'alif ' satu huruf yang nyata dibentuk di dalam daerah (noktah/kertas) demikian rupanya, maka 'alif ' itu kesempurnaan noktah/kertas. ijmalnya ta’ayyun yang nyata sudah terlihat/terzohirkan, sebab itulah dinamakan ta’;ayyun thani’, karena noktah/kertas itu ta’ayyun awal, dan 'alif' itu ta’ayyun thani-(sudah dizohirkan melalui gerakan tangan yang ada di dalam hati menjadi sebuah huruf “Alif”), demikian ini disebut tashbih walillahi’l-mathalul-a’la-(dalam ilmu Allah).
Dijelakan di Alquran :
Orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, mempunyai sifat yang buruk; dan Allah mempunyai sifat yang Maha Tinggi; dan Dia-lah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(QS. Al-Nahl : 60).
Ketiga martabat itu supaya difahami benar-benar, martabat ahadiyah itu diumpamakan zihin (fikiran) kita, memikirkan sesuatu (musta’kalkan) yang sesuatu itu dalam fikiran kita, menjadikan ‘la ta’ayyun’: apabila memulai sesuatu (musta’kal kan)  maka dinamakan ta’yyun awal’ dan dilanjutkan dinamakan ta’ayyun thani. Dua martabat ini (dalam syuhud orang yang 'arif dalam pandangannya yang tinggi itu) yaitu wahdah dan wahidiyyah itu ilmunya yang kadim ('ain-'ain yang tetap dalam ilmu Allah yang kadim dan azali belum tercipta lagi), artinya ‘a’yan thabitah’ (dalam ta’aluk ma’lum ilmuNya Allah ta’ala, asalnya tiada yang ada melainkan ZatNya dan segala SifatNya yang Kadim.
  • A’yan Thabitah Ia, yang dikatakan martabat A'yan Thabitah itu dimisalkan tiada wujud sesuatu apapun, belum keluar kalimah ‘kun’, apabila dikehendaki akan wujudnya, maka cukup dengan lafaz ‘kun’ maka jadilah dengan Kodrat Allah subahanahu wa ta’ala wujud yang baharu, karena Kodrat yang kadim. Namun sesungguhnya wujud ZatNya tetaplah ada, tiada bercerai segala sifatNya yang kadim.
  • A’yan Kharijiyyah Ia, yang dikatakan martabat A’yan Kharijiyyah itu ubudiyyah, kehambaan makam anbia’ dan aktab (para wali kutub) yang dapat mewarinkanya, mereka itu kadarNya memiliki derajat kerohanian memandang Allah ta’ala, meresap didalam sanubarinya. Seperti kata ahli’Llah, ‘ma ra’aitu shai’an illla wa ra’aitu’Llaha fihi’ : artinya tiada aku pandangkan sesuatu merlainkan ku pandang Allah padanya’ (segala sesuatu berawalkan ke Esaan Allah ta’ala).
Berkata Imam al-’Arifin Saidi Muhyil-Din ibn al-’Arabi di dalam kitab Manazil al-Insaniyyah, : ada beberapa huruf yang amat tinggi (bagi ilmu Tuhan yang kadim dan azali sebelum dicipta olehNya alam ini) belum dijadikan kita dengan firmanNya ‘kun’, dan muta’allaq (bergantung segala sesuatu) bahwa bermacam keinginan segala sesuatu mahluk ada di dalam inkishaf Ilmu Tuhan,  pada huruf ''huwa''. Jika Allah ta’ala berkehendak untuk mencapai ma'rifat dan mengenal Tuhan dengan  memberikan kepada yang Haq (RasullNya) dan ia akan diperlihatkan (diwjudkan) segala ciptaanNya yang belum terzohirkan, sebab ada bagian tiap-tiap yang maujud, disebut Ilmu Laduni. Bagi Mereka yang memahami Ilmu Laduni : ia akan berhakekat, memahami aku-itu aku jua dan engkau-itu engkau jua dan ia-itu ia jua, diibaratkan : seperti setetes air digugurkan ke dalam laut, maka kita tidak dapat membedakannya, kita kata air-itu air laut, dan laut-itu air, tetapi yang laut-itu laut dan air-itu air jua tiada dapat bertukar, karena segala hakikat itu tiada dapat bertukar-tukar.
Maksudnya : jangan pernah berfikir bahwa Allah itu bersambung zatNya dengan zat kita, Allah adalah Allah Swt-(Tuhan kita), kita adalah kita (makhluk ciptaanNya). Dan sekelian alam ini ''huwa'' Ia jua : yakni martabat Ahadiah (terhapus dalam penyaksian batin bahwa sekalian alam ini adalah Ia)
Artinya, telah ada Allah walhal tiada ada sesuatu berserta denganNya, dan segala hadrat yang dibawahNya di namakan hadrat ''wa huwa ma’akum ainama kuntum'' (Ia bersama dengan kamu di mana kamu berada), diibaratkan seperti rating, cawang juga dahan dan segala daun terkandung sekelian itu di dalam biji, apakah rating, cawang juga dahan dan segala daun bisa kita sebut biji mustahil adanya, sudah menjadi ketentuannya (biji ya biji, ranting ya ranti, cawan ya cawan , dahan ya dahan dan daun ya daun), jadi yang dapat bertukar itu rupa jua.
Maksudnya: hamba-itu hamba jua jikalau berupa sebaik apapun, Tuhan itu Tuhan jua jikalau berupa apapun yang dikehendakinya.
Seakan memandang cermin semua gerakan kita sama gerakan pada cermin, dalam  cermin adalah gerakan cermin,  dengan kita adalah gerakan kita namun sesungguhnya gerakan cermin itu adalah gerakn kita.
Adapun zahir itu dikatakan, Hak itu Hak dan hamba itu hamba; karena Ia awal bukan berawal juga akhir bukan berakhir dan Ia itu zahir pada sesungguhnya gaib (segala kalbu), dan Ia itu batin pada sesungguhnya zahir (segala wujud) tiada ZatNya itu berkesudahan . Demikianlah disebut oleh Syaikh Nur al-Din (al-Raniri) di dalam kitabnya Jauhar al-’Ulum.
Alam Arwah, martabat yang keEmpat :
Ia, yang dikatakan martabat Alam Arwah itu, yaitu alam segala nyawa dalam kalimah ‘kun’ dijadikan Allah ta’ala dengan tiada pertengahan dan perantaraan lagi mujarrad, sunyi daripada bersifat (tabi’at), zat-zat bukan benda, yang tiada bersusun lagi yata ia atas segala zatnya-(Nur Nabi Muhammad salla’llahu ‘alaihi wa sallam daripada NurNya), dijadikan Nur Muhammad itu dengan Nur Tuhannya bukan setengah daripada nur Allah-(asma’ Allah itu Nur Allah Ta’ala).
Dalam AlQuran dijelaskan :
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada Pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Maksudnya : “Sesungguhnya telah datang ke kamu Allah (nur)”, yaitu Muhammad Saw.
Dijadikan Nur Nabi akan arwah segala anbia’ dan mursalin dan segala mukminin. Maka ruh nabi asal al-arwah , sebab itulah dinamai akan dia mazhar al-atam dengan sebab itulah jadi (Ia) khatam al-nabiyyin wa sayyid al-mursalin wa rahmatan lil-’alamin. Nabi itu kenyataan yang sempurna bagi asma’ Allah dan sifatNya, maka ialah yang memerintahkan pada alam kabir (alam yang kelihatan) dan alam saghir (alam manusia).
Alam Misal, martabat yang keLima :
Ia, yang dikatakan martabat Alam Misal yaitu, yang dinamakan dia alam khayal yang terbit di otak, ialah akal yang diletakan di otak (selain daripada akal yang ada pada kalbu) dan digelarkan dengan ard al-simsimah dan ard al-haqiqah (nisbahnya alam semesta) diibaratkan segala perkara kauniyyah yakni yang masuk di bawah kalimat hafaz ''Kun'' (perintah Allah), belum ada bagian/bentuk karena halusnya.
Alam Ijsam, martabat yang keEnam :
Ia, yang dikatakan martabat Alam Ijsam yaitu, kasar yang tersusun daripada beberapa kerjadian yang empat yaitu api, hawa, dan air dan tanah (alam fisik klasik, yang sekarang terbentuk 'elements'nya), maka keluar daripadanya lima perkara : (1). jamad (benda-benda padat), (2). nabat (tanaman), (3). Hewan, (4). Insan dan (5). Jin ; maka alam Ijsam itu ibarat daripada segala perkara yang kauniyah yakni yang masuk di bawah lafaz ''Kun'' (perintah Allah),  sudah ada bagian/bentuk.
Insan Kamil, martabat yang KeTujuh :
Katanya: dan martabat yang ketujuh martabat yang jami’ (yang menghimpunkan semua) bagi segala martabat yang jasmani, yaitu alam misal, dan alam Ijsam, dan yang nurani yang kadim yaitu ahadiah, dan nurani yang hadith ‘alam arwah dan yang menghimpunkan pula martabat wahdah dan wahidiah, maka ialah yang dinamakan tajalli yang akhir, yaitu dinamakan martabat insan yang kamil.
Inilah metafisika sufi tentang martabat tujuh yang terkenal dikalangan ulama rantau ini, berdasarkan wacana ulama yang terdahulu semacam implikasi dan dihuraikan semacam mendetail oleh ibn ‘Arabi, dengan sedikit modifikasi kemudiannya. Artinya Syaikh Daud al-Fatani rh yang menulis tentang fiqh seperti Furu’ al-masa’il dan Bughyah al-Tullab, dan dalam akidah menulis Al-Durruth-Thamin dan Ward al-Zawahir, demikian pula menulis tentangt tasauf dalam terjemahannya ke atas Minhaj al-’Abidin Imam al-Ghazali dengan memberi judul yang sama, dan memberi huraian tasauf Abu Madyan al-maghribi rd dalam Kanz al-Minan Syarah Hikam Abi Madyan ;kemudian ia menulis pula kitab metafisika tasauf al-Manhal al-Safi (fi bayan Ruimuz Ahl al-Sufi) ini.
Ia antara mereka yang mewakili dengan baiknya kesepaduan intelektualiti ulama Ahlis-Sunnah wa al-Jama’ah di rantau ini.
Bahwasanya orang yang salik kepada Allah apabila bersungguh-sungguh ia berjalan kepada Tuhannya dan serta beradab ia pula dengan gurunya niscaya diputuskan beberapa alam hingga sampai kepada Tuhannya ; maka pertama alam yang diputuskan yakni yang dilalukan alam mulk dan dinamakan alam nasut pula yaitu barang yang didapatkan dengan mata kepala seperti segala Ijsam dan lainnya, yaitu dinamakan pula alam nafs; kemudian ia lalukan pula dalam perjalanan rohaninya itu alam Mamenjalankant , yaitu barang yang di)apatkan dia dengan matahati dan yaitu alam al-qalb dan dinamakan pula alam akhirat (jangan dikelirukan itu dengan apa yang berprilaku setelah daripada kiamat sebab ini berprilaku atas seseorang sebelum kiamat) kemudian dilaluinya pula alam al-jabarut dan yaitu alam al-arwah kemudian dilalunya pula alam lahut, yaitu alam sirr yakni rahasia Allah ta’ala dan padanya hilang segala asma' dan segala rasm yakni segala athar (kesan, bekas), dan tiada dipandangnya di sana itu melainkan Wahid al-Ahad dan padanya sehingga fana hamba dengan Tuhannya yakni selesailah ia daripada memandang kepada aghyar (jamak bagi 'ghair', yang lain daripada Allah), dan sucilah hatinya daripada akdarnya (karat-karat rohaniah) aghyar, dan sucilah hatinya daripada akdar dan aghyar, dan ketika itulah dipenuhkan di dalam segala ma’rifat dan asrar (jamak bagi sir, rahasia), patutlah ia tempat tajalli Tuhannya sebab setelah ia  diperhambakan segala aghyar maka dinamakan hatinya tatkala itu ka’babatu’Llah (ka'bah bagi Allah, bukannya Allah ada di dalam tetapi disebut demikian sebab ternyata iman adalah perbuatan hati), mahligai Allah dan rumah Allah yakni murad tempat tajalliNya dan tempat tiliknya. hadith menyebutkan : Allah tidak memandang kepada… melainkan ia memandang kepada hati kamu, dan rahasiaNya (Tuhan akan curahkan pemahaman-pemahaman yang mendalam kepadanya) dan patutlah menanggung Amanah Allah dan patut ia mengenal akan Allah seperti firmanNya di dalam hadith kudsi :
بنيت فى جوف ابن ادم قصرا وفى القصر صدرا وفى الصدر قلبا (وفى القلب) فوءادا وفى الفوءاد شغافا  
وفى الشغاف لبا وفى اللب سرا وفى السر أنا
Artinya : Telah Ku perbuat di dalam rongga anak Adam itu suatu ma(h)ligai dan adalah di dalam ma(h)ligai itu dada, dan di dalam dada itu hati, dan di dalam hati itu fua’d, dan di dalam fu’ad itu syaghaf dan di dalam syaghaf itu lubb, dan di dalam lubb itu sirr dan di dalam sirr itu Aku.
Yakni di dalam sirr itu tempat tajalli Aku dan tempat ia mengenal akan Daku.
Dan lagi firmanNya kepada Nabi Allah Daud ‘alaihis-salam :
فرغ لى بيتا أسكن فيه
Artinya : Hai Daud selesaikan olehmu (kosongkan olehmu) bagiKu suatu rumah supaya diam Aku di dalamnya. Maka seseorang itu dirinya dinamakan bermartabat (disisi Tuhanya).
Haqqul-yaqin seperti kata Syaikh Ruslan di dalam Hikamnya; ‘Al-yaqinu khurujuka ‘anka’ artinya bermula yakin pada diri engkau, yakni engkau dipelihatkan akan wujud dirinya akan daya dan upayanya melihat sekelian itu daripada Allah dengan Allah bagi Allah.
Tinggalkan yang lain dari selain Allah hingga jadilah pendengarannya pendengaran Allah dan seterusnya... karena Allah wa la shay’ ma’ahu’ artinya adalah Allah taala sebelum lagi dijadikan alam dan tiada suatu sertaNya.
Tajalli sifat sama’ dalam hubungan dengan hamba : Jika ditajalli Allah ta’ala dengan sifat sama’ maka jadilah orang yang salik itu mendengar daripada af’al itu yaitu dibukakan Allah bagi salik daripada af’al ta’ala seakan-akan dilihat seperti berprilaku dengan kudrat Allah ta’ala artinya : Allah ta’ala yang menggerakkan dan, mendiamkan bagi syuhud yang halik (pemandangan semacam rohani yang dialami betul-betul oleh orang itu) lagi dhauqi, 'semacam kecapan rasa rohani bukan semacam fikiran). Wabil Khusus : melalui ahlinya, di sinilah tempat tergelincir kaki orang yang salik (apa lagi orang yang hanya 'fikir sendiri ' seperti membaca surat khabar harian lalu 'fikir sendiri') karena ia menafikan perbuatannya hendaklah Benar-Benar memegang Syari’at-(memahami syari’at).
Tasawwuf  itu memahami sedalam-dalamnya hukum-hukum Islam dari zahirnya maupun batinnya (jernih zahirnya daripada dosa dan jernih batinnya daripada aghyar), maka hasilnya akan sempurna.
Tentang tujuh makom : (1)makom zulumat yang aghyar, dinamakan nafsu (nafsu ammarah bissu), (2)makom nur (anwar), dinamakan (nafsu lawwamah), (3)makom asrar (nafsu mulhamah), (4)makom kamal (nafsu mutma’innah), (5)makom wasal (nafsu radiyah), (6)makom tajalliyyat al-af’al (nafsu mardiyyah), (7)makom tajalliyyat al-sifat dan asma (nafsu kamilah).
Bagaimanapun dasar-dasar Tulisan ini : yaitu untuk perkembangan pemahaman ini semuanya ada dalam Qur’an dan Sunnah, Maka dalam hubungan dengan ini boleh dinyatakan semacam dalam Ahlis-Sunnah.

Baiknya Kita Renungkan :
  • Adakah salah ulama hadith menghuraikan istilah-istilah sahih, da’if, hasan, mutawatir, mustafid ahad, dengan maksud-maksudnya. Adakah salah dalam al-Itqan al-Suyuti itu ada huraian-huraian tentang apa yang makki, yang ‘madani’, yang ‘am’, ‘yang khas’, yang ‘safari’, yang ‘hadari’ dan lain-lain? Adakah ‘salah’ ulama fiqh menghuraikan apa itu ‘sah’, ‘batal’ ‘fasid’, ‘sunat’, ‘harus’, makruh, dan lain-lain? Dan dalam usul al-fiqh pula Imam Syafi’I menghuraikan apa itu bayan? Demikian pula salahkah kalau kita fikirkan ulama sufi memahami kalimat ‘ahad’ dalam Surah al-ikhlas terlintas pada pandangan rohaninya pengenalan terhadap Tuhan dalam ‘ahadiah’? Bila bertemu dengan kata ‘wahid’ ia terlintas pula wahidiah?.
  • Ajaran Martabat Tujuh yang diwakili oleh tulisan yang dibicarakan ini tidak meruntuhkan syariat, bahkan ia mengehendaki supaya syariat diamalkan dengan seboleh-bolehnya, kemudian didalamkan kesegarisn batin supaya ketaqwaan itu mencapai derajat ‘ihsan’ yang tinggi , dengan kejernihan hati dan sir. Dengan itu tergabunglah ketaatan terhadap syara’ dan ketinggian iman dan keikhlasan.
  • Demikian para ulama kita dahulu, misalnya mereka mengambil istilah mantik Yunani, bukannya mereka menerima falsafah Yunani dengan keseluruhannya, mereka menerima yang berfaedah daripadanya, bagimana yang Imam al-Ghazali rd tunjukkan kaedahnya dalam “Tahafut al-Falasifah” dan “al-Munqidh Min al-Dalal”nya.
  • Para ulama kita, tidak mengajarkan Martabat Tujuh itu kepada sesiapa saja, tetapi kepada mereka yang berkeinginan belajar untuk memahaminya-(yang mendapatkan hidayah), dan mereka memerlukan huraian ini dari segi intelektuil, bagi dukungan kesegarisn rohani mereka, diingat : sebelumnya mereka harus sudah mengetahui akidah Ahlis-Sunnah, hukum-hukumnya, dan tasawuf mu’amalah. Ini bukan falsafah dalam arti huraian mental spekulatif semata, tetapi huraian tentang syuhud para ‘arifin yang sahih. Sebab itu Waliyu’Llah al-Dihlawi rh menyatakan bahwa sebenarnya aliran wahdatul-wujud ibn ‘Arabi yang ada dalam tulisan ini dengan aliran wihdatul-syuhud al-Sirhindi adalah sebenarnya merujuk kepada perkara yang sama cuma istilah-istilahnya saja yang berbeda. (Lihat Burhan Ahmad Faruqi dalam The Mujaddid’s Conception of Tawhid, Sh Muhammnad Ashraf, Lahore, 1970, hal. 97-100).
  • Mereka yang berpegang kepada ajaran Ilmu Mukasafah ini tidak meruntuhkan Syari’at bahkan mereka menguatkannya, baik dalam asal Islam di Nusantara. disebut oleh al-Asy’ari rd dan al-Syafi’I rd, dihuraikan oleh mereka yang berpegang kepada ajaran mereka berdua; dan ia bukan termasuk ajaran sesat ini fatwa ibn Hajar rh dalam “al-Tuhfah”.
  • Maka ramai mereka yang tergelincir karena menyalahi kitab-kitab ahli Ilmu Mukasafah, mereka mereka-reka tafsiran sendiri, karena dalam perkara yang demikian itu (yakni orang yang berbincang bukan mengikut ulama Ilmu Mukasafah semacam sadiq, tetapi memahami sendiri, dan mengambil lafaz mengiktu zahirnya) itu mendatangkan kerosakan baginya, disebabkan karena ada kepentingannya.
  • Istilah-istilah yang muncul terhadap semua ilmu-ilmu Islam seperti fiqh, tafsir, hadith, sirah, dan lainnya termasuk tasauf; dan tasauf pula ada yang mu’amalah dan ada yang mukasyafah; tentang martabat tujuh ini, ia termasuk ke dalam bagian mukasyafah; tidak semua orang memerlukannya atau memahaminya-(jika sudah mendapat Hidayah), yang dijelaskan antaranya dalam al-Tabsir fid-Din oleh al-Isfara’ini rh juga al-Baghdadi rh dalam al-Farq bain al-Firaq.
  • Ilmu Mukasafah adalah bertujuan untuk memantapkan ketaatan dan taqwa dengan memberi huraian-huraian yang bersifat intelektuil bagi mereka yang memerlukannya atau memahaminya-(jika sudah mendapat Hidayah); bukanlah untuk orang yang tidak memerlukannya, apa lagi mereka yang hendak memahaminya mengikut system istilah mereka sendiri, Na’udhu billahi min dhalik.
  • Tulisan ini bukan termasuk falsafah, sebab falsafah itu ialah lamunan mental dengan fikiran dan minda, dan tidak menyentuh aspek-aspek yang batin dan rohani manusia, seperti yang dalam kitab Tuhfgah al-Raghibin karangan Syaikh Arsyad al-Banjari rh (13).
  • Diingat : perlu dibedakan maksudnya, Kalau akidah semua orang mesti mengetahuinya dan meyakininya, seperti sifat-sifat Tuhan dalam ilmu akidah, berdasarkan Qur’an, hadith dan ijma’. Adapun pengelaman syuhud para ‘arifin itu “hal” mereka, atau “makom” mereka-(pengelaman syuhudiah), itulah yang disebutkan orang bagi wihdatul-wujud itu.
Kesimpulan

Perbincangan menunjukkan bahwa Martabat Tujuh bagimana yang difahami oleh mereka yang ahli sebenarnya adalah harmonis dan mendapat tempat dalam wacana ilmu Ahlis-Sunnah; hanya ia perlu difahami dengan sebenarnya, mengikut para ahlinya, sebab semua pengetahuan ada ahlinya. Tentang adanya golongan sesat dalam masyarakat yang menisbahkan diri kepada
Ilmu Mukasafah, atau adanya orang yang jahil yang memahaminya semacam zahir lafaznya, maka itu bukan alasan untuk dinyatakan ia terkeluar daripada Ahlis-Sunnah ataupun terkeluar daripada lingkungan keimanan, na’udhu billahi min dhalik.
Melibatkan peribadi-peribadi seperti Wali Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Syaikh Nur al-Din al-Raniri, Syaikh ‘Abdul-Rauf Singkel, Syaikh al-Qusyasyi, Syaikh Syamsul-Din Pasai, Syaikh Arsyad al-Banjari, Syaikh Yusuf al-Makasari, Syaikh ‘Abd al-Samad al-Falimbani, Syaikh Daud al-Fatani, Syaikh Ahmad al-Fatani, (kitab Jawi zaman kerajaan Othmaniah dulu), dan seluruh gernerasi mereka itu Allah memberi rahmat kepada mereka. Amin; kalau diambil sikap yang negatif, diharuskan : bidang ini tidak dicampuri oleh mereka yang tidak sewajarnya-(kalangan orang awam). 

Tulisan :
  • Ihya’ ‘Ulumi’d-Din, kitab berkenaan dengan ilmu.
  • Martin van Bruinessen, “Sufism and the Islamization of the Archipelago”,
  • C. A. O. van Nieuwenhuijze, Shamsusu’l-Din van Pasai, (Leiden, Brill, 1945), lihat ibid.
  • Anthony H. Johns The Gift Addressed to the Spirit of the Prophet, (Canberra, ANU, 1965). cf ibid.
  •  Syaikh Syams al-Din Pasai tentang martabat wujud yang tujuh itu ialah Ahadiah, Zat Tuhan yang kadim, wahdah, Zat Tuhan dengan Sifat-SifatNya , yang kadim, dengan kepelbagaian sifat-sifatNya, kadim, Wahidiah, juga kadim, abadi, Tuhan dengan nama-Namanya, Alam Arwah, yang diciptawalnya, dengan bagian-bagian alamnya, Alam Misal, yang diciptanya, wujud Tuhan tertajalli padanya, Alam Ijsam, alam jism-jisim, tercipta olehNya, tertajalli wujud Tuhan padanya, Alam al-Insan, yang tercipta, yang tertajalli wujud Tuhan padanya. Lihat ringkasan tentangnya dalam karangan Peter Riddell, Islam and the Malay-Indonesian World, Horizons Books, Singapore, 2003, p113. yang sedemikian ada dalam al-Manhal al-Safi karangan Syaikh daud al-Fatani rh. Sufi Legendaris dari Nagaroe Aceh” dalam www. sufinews. com
  • Sir Richard Winstedt, A History of Classical Malay Literature, JMRAS, jilid 31, bagian 3, no. 183 , 1961. hal. 121. Tentang ibn ‘Arabi rd di Bumi Nusantar nampaknya ada tulisanan yang serius tentangnya yang dijalankan oleh Dr Kautsar Azhari Noer, Ibn ‘Arabi Wahdat al-Wujud Dalam Perdebatan, dengan pengantar oleh Kamaruddin Hidayat, Paramadina, Jakarta, 1995.
_____ oo0 by DODI 0oo _____

Bersambung ke Halaman Berikutnya Klik disini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar