''IMAN HIDAYAH''
Sukma luhur atau ruh berderajat tinggi
Sukma luhur atau ruh berderajat tinggi
Sunan
Kalijaga mendapat gelar agung sebagai guru suci Tanah Jawi. Singkat cerita,
Raden Mas Sahid putra kanjeng Adipati Tuban, sudah menjadi alim ulama yang
cerdik dan pandai.
Bahkan
beliau sudah dapat merasakan mati di dalam hidup. Tingkatan pendakian tauhid
yang sangat tinggi, dan patut diacungi jempol. Namun beliau belum puas dengan
apa yang sudah didapat. Dia mempunyai himatulaliyyah atau cita-cita yang tinggi
yaitu bertujuan ingin memperoleh petunjuk diri seseorang yang sudah menemukan
hakikat kehidupan, yang nantinya dapat mengantarkanya agar mendapat petunjuk
yang dipegang para Nabi Wali atau Imam Hidayah.
Tekadnya
semakin membaja, menyebabkan beliu melakukan perjalanan hidup yang tidak
memperdulikan dampak atau akibat apapun yang akan terjadi, nafsunya menuntut
ilmu semakin membara tak perduli samudra api menghadang.
Rasulullah
bersabda, : “Tuntutlah ilmu biarpun harus menyeberang samudra api!”.
Raden
Mas Sahid hatinya bimbang dan pikirannya bingung. Siapa yang tidak bingung!
Segala ilmu yang diketahui dan dipahami diamalkan dengan penuh pengabdian
kepada Allah Tuhan Robbil Alamin, namun beliu merasa selalu tergoda oleh
nafsunya, dan merasa tidak mampu mengatasinya. Berbagai usaha ditempuhnya agar
akhir hidupnya mampu mengatasi nafsunya, jangan sampai terlanjur terlantur,
hanya puas makan dan tidur. Namun tetap saja dirinya merasa hatinya kalah
perang dengan nafsunya. Akhirnya beliu pasrah kepada Allah Tuhan Robbil Alamin
tempat berserah diri.
Raden
Mas Sahid memohon kepada Allah Tuhan Robbil Alamin, semoga dibukakan oleh Allah
Tuhan Robbil Alamin, agar istiqomah hatinya, selaras dengan kehendak hatinya,
jalan menuju sembah dan puji. Dan tiada putus-putusnya dia berdoa, biarpun
terselip kekhawatiran dosa dan kekhilafan yang pernah dilakukannya semasa muda,
mungkin tak termaafkan oleh Allah Tuhan Robbil Alamin. Sekian lama beliu berdoa,
namun tak ada tanda-tanda terkabulnya doa. Akhirnya beliu mawas diri. Mengapa
petunjuk yang ditunggu-tunggu belum juga datang? Apakah cara beribadahnya dan
bersyukur yang salah? Apakah yang dilakukan selama ini acak-acakan tanpa dasar
ilmu yaqin?
Akhirnya
Raden Mas Sahid diam tak mau berdoa lagi. Beliu menyendiri dan menjauhi urusan
duniawi (uzlah). Buah dari laku ini, dirasanya masih saja ada gejolak batin,
saling bertengkar dua sura dalam batinnya sendiri, bisikan Malaikat dan bisikan
Syaitan. Pertentangan suaranya tidak lantang sebagaimana layaknya orang
bertengkar, tetapi pertengkaran hebat itu tidak kunjung berhenti! Bukankah
bisikan baik dan buruk saling merebut kemenangan? Apa sih yang diperebutkan?
Padahal tidak ada yang diperebutkan! Perang batin ini, kalau diibaratkan
seperti perebutan Kerajaan Ngastina oleh Kurawa dan Pandawa yang masih termasuk
keluarga sendiri atau darah daging sendiri!
Raden
Mas Sahid menyadari laku uzlah yang dijalankannya tak menghasilkan petunjuk
yang diharapkan. Akhirnya tanpa malu-malu, karena didesak oleh hasrat
mengetahui petunjuk, beliu berusaha tapa berlapar-lapar, kalau ada teman
datang, ikut makan dengan rakusnya, kalau temannya pergi tidak makan seumur
hidupnya, sebab tidak ada yang dimakan. menuruti kesenangan memperindah diri,
selalu meminta upah. Raden Mas Sahid meminta upah dari laku tapa berlapar-lapar
ternyata tiada hasil. Beliu akhirnya menyadari kebodohannya dan tersenyum
sendiri. Mengapa sampai teganya Dia menagih tak henti-hentinya kepada Allah
Tuhan Robbil Alamin, padahal tanpa piutang? Allah Tuhan Robbil Alamin yang
ditagih wajar kalau diam saja, memang kenyataanya tidak berhutang! Biarpun yang
menagih datang dan pergi, semua itu tidak ada bedanya, dan Allah Tuhan Robbil
Alamin Yang Maha Kaya berhak tidak melunasi karena tidak pernah berhutang
kepada Raden Mas Sahid. Akhirnya beliu memutuskan diri untuk berguru dengan
Kanjeng Sunan Bonang, barangkali dengan itu, beliu dapat petunjuk iman hidayah.
Mulailah
Raden Mas Sahid berguru kepada seseorang yang tinggi ilmunya yang bersunyi diri
di desa Bonang yang bergelar Kanjeng Sunan Bonang. Beliu mohon kepada Kanjeng
Sunan Bonang untuk ditunjukkan hakikat kehidupan. Syekh Malaya disaat mulai
berguru kepada Kanjeng Sunan Bonang diperintah tapa (mensucikan diri) menunggu
pohon gurda dan dilarang meninggalkan tempat.
Syekh
Malaya dapat dikatakan orang hebat, karena keinginanya yang kuat serta tekad
batinnya, tak dapat dibandingkan dengan yang lainnya. Maklumlah beliu berdarah
luhur, putra Kanjeng Adipati Tuban Wilwatikta II bernama Raden Mas Sahid, waktu
tua bergelar Sunan Kalijaga. Rupanya sudah terlebih dahulu mendapat anugrah
Kasih Sayang Allah Tuhan Robbil Alamin yang sudah menjadi kemulian Tuhan,
timbul dari kasih Sayang Allah Tuhan Robbil Alamin. Syekh Malaya berguru
menuntut ilmu sudah cukup lama, namun merasa belum dapat manfaat yang nyata,
rasanya cuma penderitaan yang didapat, sebab disuruh memperbanyak tapa
(mensucikan diri), oleh Kanjeng Sunan Bonang, diperintah “menunggui pohon
gurda” yang berada ditengah hutan belantara dan tidak boleh meninggalkan
tempat, sudah dilaksanakan selama setahun.
Laku
tapa (mensucikan diri) yang kedua, disuruh “ngaluwat” yaitu ditanam di tengah
hutan di dalam goa Sorowiti Panceng Tuban. Setelah setahun mulut gua yang
mulanya ditutup dengan batu-batu, kemudia dibongkar oleh Kanjeng Sunan Bonang.
Kemudian laku tapa yang ketiga, yaitu “tarak brata di tepi sungai” selama
setahun, dan tidak boleh tidur ataupun makan, lalu ditinggal menuju Mekah oleh
Kanjeng Sunan Bonang.
Nyatanya
sudah genap setahun, Syekh Malaya ditengok, ditemui masih tarak brata saja,
Kanjeng Sunan bonang bersabda, “wahai siswaku sudahilah tarak bratamu, kamu
mulai sekarang sudah menjadi Wali dan bergelar Sunan Kalijaga. Kamu diangkat
sebagai wali Sembilan penutup maksudnya melengkapi Wali Songo atau Wali
Sembilan yang saat itu jumlah kurang satu wali. Tugasmu ikut menyiarkan agama
Islam dan perbaikilah ketidak aturan yang ada. Agama itu toto kromo, kesopanan
untuk Kemuliaan Tuhan Yang Maha Mengetahui. Kau harus berpegang pada syariat
Islam, serta segala ketentuan iman hidayah. Hidayah itu dari Allah Tuhan Robbil
Alamin Yang Maha Agung, yang sangat besar kanugrahan-Nya menumbuhkan kekuatan
luar biasa dan keberanian, serta meliputi segala kebutuhan perang, yang demian
itu tidak lain adalah anugrah yang besar, paling utama dari segala yang utama.
Keutamaan itu ibarat bayi, siapapun ingin memeliharanya, mencukupinya,
menguasai pula terhadap dirinya, tapi kita tak punya hak menentukan, karena
kita ini juga yang menentukan Allah Tuhan Robbil Alamin Yang Maha Agung, karena
itu mantapkanlah hatimu dalam pasrah diri pada-Nya”.
Syekh
Malaya berkata lemah lembut kepada Kanjeng Sunan Bonang, “sungguh hamba sangat
bermatur nuwun, semua nasihat akan kami junjung tinggi, tapi hamba mohon pada
guru, agar sekalian dijelaskan, tentang maksud sebenarnya dari sukma luhur
atau ruh yang berderajat tinggi, yang sering disebut iman hidayah.
Hamba harus mantap berserah diri kepada Allah Tuhan Robbil Alamin, bagaimanakah
cara melaksanakan dengan sebenar-benarnya? Hamba mohon penjelasan yang
sejelas-jelasnya. Kalau hanya sekedar ucapan semata hamba pun mampu
mengucapkannya. Hamba takut kalau menemui kesalahan dalam berserah diri, karena
menjadikan hamba ibarat asap belaka, tanpa guna menjalankan semua yang
kukerjakan.
Kanjeng
Sunan Bonang menjawab lembut, “Syekh Malaya benar ucapanmu, pada saat tapa kau
bertemu denganku, yang dimaksud berserah diri ialah selalu ingat perilaku atau
pekerjaan, seperti ketika awal mula diciptakan, bukankah itu sama halnya
seperti asap? Itu tadi seperti hidayah wening atau petunjuk yang jernih, serupa
dengan iman hidayah, apakah itu nampak dengan sebenarnya? Namun ketahuilah
semua tidak dapat diduga sebelum mempunyai kepandaian untuk meraihnya,
kejelasan tentang hidayah, hanya keterangan yang saya percayai, karena
keterangan itu berasal dari sabda Allah Tuhan Robbil Alamin”.
Berkata
Kanjeng Sunan Kalijaga, “ Kanjeng Rama Guru yang bijaksana, hamba mohon
dijelaskan, apakah maksudnya, ada nama tanpa sifat, ada sifat tanpa nama? Saya
mohon petunjuk, tinggal itu yang saya tanyakan yang terakhir kali ini saja”.
Kanjeng Sunan Bonang bersabda lemah lembut, “Kalau kamu ingin keterangan yang
jelas tuntas, matikanlah dirimu sendiri, belajarlah kamu tentang mati, selagi
kau masih hidup. Caranya bersepi dirilah kamu ke hutan rimba, dan jangan sampai
ketahuan manusia”.
Sudah
habis segala penjelasan yang disampaikan Kanjeng Sunan Bonang lalu meninggalkan
tempat, dari hadapan Sunan Kalijaga, timur laut arah langkah yang dituju.
Kira-kira baru beberapa langkah berlalu, Syekh Malaya ikut meninggalkan tempat
itu, masuk kehutan belantara.
Raden
Mas Sahid menjalankan laku kijang, berbaur dengan kijang menjangan, segala
gerak laku kijang ditirunya, kecuali bila ingin tidur, ia mengikuti cara tidur
berbalik, tidak seperti tidurnya kijang. Kalau pergi mencari makan mengikuti
seperti caranya anak kijang. Bila ada manusia yang mengetahui, para kijang
berlari tunggal langgang, Sunan Kalijaga juga ikut berlari kencang jangan
sampai ketahuan manusia. Larinya dengan merangkak, seperti larinya kijang,
pontang panting jangan sampai ketinggalan, mengikuti sepak terjang kijang.
Nyata
sudah cukup setahun, Syekh Malaya menjalani laku kijang, bahkan melebihi yang
telah ditetapkan, ketika itu Kanjeng Sunan Bonang, bermaksud sholat menuju
Mekah, dalam sekejap mata sudah sampai, setelah sholat segera datang kembali.
Kanjeng Sunan Bonang menuju hutan untuk memberi tahu Syekh Malaya bahwa laku
kijangnya telah selesai. Sesampai di dalam hutan ia melihat kijang berlari,
sedang anaknya sempoyongan mengikuti. Sunan Bonang ingat dalam hati, kalau Wali
Syekh Malaya berlaku seperti anak kijang, segera ia mendekati gerombolan
kijang, barangkali di sana ditemukan Syekh Malaya.
Syekh
Malaya yang kebetulan sedang berlaku meniru kijang tahu akan didekati gurunya.
Beliu ingat pesan gurunya, bahwa dirinya tidak boleh diketahui manusia, gurunya
juga manusia maka ia harus menghidari jangan sampai didekati manusia biarpun
gurunya, larinya tunggang langgang, tanpa memperhitungkan jurang tebing,
ditubruk tidak tertangkap, dijaring dan diberi jerat, kalau kena jerat dapat
lolos, kalau kena jaring dapat melompat.
Marahlah
sang guru Kanjeng Sunan Bonang, bersumpah dalam hatinya, “Wali wadat pun aku
tak peduli, memanaskan hati kau kijang, bagiku memegang angin yang lebih lembut
saja tidak penar lolos, yang kasar akan lebih mudah ditangkap mustahil akan
gagal!”.
Kanjeng
Sunan Bonang bergerak dengan sigap. Beliu berusaha menciptakan nasi tiga kepal
atau genggam. Dalam sekejap tangannya telah siap nasi 3 genggam, segera ia
mundur ancang-ancang siap mengejar Kijang Syekh Malaya untuk melemparkanya.
Kanjeng Sunan Bonang segera menerobos ke dalam hutan yang lebih lebat dan sulit
dilewati, setelah benar-benar menemukan yang sedang laku kijang, tengah
berlari. Segera dilemparnya dengan nasi satu kepal, tepat mengenai punggungnya.
Syekh
Malaya agak lambat larinya terkena lemparan nasi sekepal. Lalu lemparan yang
kedua, mengenai lambungnya, jatuh terduduk Syekh Malaya kemudian dilempar lagi,
nasi satu kepal, Syekh Malaya ingat dan sadar kemudia berbakti pada Kanjeng
Sunan Bonang.
Syekh
Malaya berlutut hormat mencium kaki Kanjeng Sunan Bonang. Berkata sang guru
Kangjeng Sunan Bonang “Anakku ketahuilah olehmu, bila kau ingin mendapat
kepandaian, yang bersifat hidayatullah, naiklah haji, menuju Mekah dengan hati
tulus suci dan ikhlas. Ambillah air zam-zam menuju Mekah, itu adalah air yang
suci, serta sekaligus mengaharapkan berkah syafaat, Kanjeng Nabi Muhammad yang
menjadi suri tauladan manusia”. Syekh Malaya berbakti, mencium kaki gurunya dan
mohon diri untuk melaksanakan tugas yaitu segera menuju Mekah. Kanjeng Sunan
Bonang lebih dahulu melangkahkan kaki menuju desa Bonang Tuban yang sepi.
Syekh
Malaya menerobos hutan, naik gunung, turun jurang, tetebingan di dakinya
memutar, melintasi jurang dan tanjakan. Tanpa terasa perjalanannya telah sampai
di tepi pantai. Hatinya bingung, kesulitan menempuh jalan selanjutnya karena
terhalang oleh samudera luas, sejauh memandang tampak air semata. Dia diam
tercenung lama sekali di tepi samudera memutar otak mencari jalan yang
sebaiknya ditempuh.
Singkat
cerita tersebutlah seorang manusia, yang bernama Sang Mahyuningrat, mengetahui
kedatangan seorang yang tengah bingung yaitu Syekh Malaya. Sang Mahyuningrat
tahu segala perjalanan yang dialami oleh Syekh Malaya dengan sejuta
keprihatinan karena ingin meraih iman hidayah. Berbagai cara telah ditempuh,
juga melalui penghayatan kejiwaan dan berusaha mengungkap berbagai rahasia yang
tersembunyi, namun mustahil dapat menemukan hidayah, kecuali mendapatkan
kanugrahan Allah Tuhan Robbil Alamin yang haq.
Syekh
Malaya ternyata sudah terjun merenangi samudra luas, dan tidak mempedulikan
nasib jiwanya sendiri. Semakin lama Syekh Malaya sudah hampir sampai tengah samudra,
mengikuti jalan untuk mencapai hakikat yang tertinggi dari Allah Tuhan Robbil
Alamin, tidak lama, sampailah di tengah samudra. Beliu kehabisan tenaga untuk
merenangi samudra menuju Mekah. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada berusaha
mempertahankan diri jangan sampai tenggelam di dasar laut. Yang tampak kini.
Syekh Malaya timbul-tenggelam di permukaan laut berjuang menyelamatkan
nyawanya. Disaat
Syekh Malaya dalam keadaan yang kritis itu berjuang antara hidup dan mati,
tiba-tiba penglihatannya melihat seseorang yang sedang berjalan di atas air
dengan tenangnya, yang tidak dari mana datangnya. Seketika itu pula, tahu-tahu
Syekh Malaya sudah dapat duduk tenang diatas air. Orang yang mendekati
Syekh Malaya tidak lain adalah Kanjeng Nabi Khaidir yang menyapa Syekh Malaya
dengan lemah lembut, “Syekh Malaya apakah tujuanmu mendatangi tempat ini?
Apakah yang kau harapkan? Ketahuilah di sini tidak ada apa-apa! Tidak ada yang
ditemubuktikan, apalagi untuk dimakan dan berpakaian pun tidak ada. Yang ada
hanyalah daun kering yang tertiup yang jatuh di depanku, itu yang saya makan,
kalau tidak ada tentu tidak makan. Senangkah kamu melihat kenyataan semua
itu?”. Syekh Malaya heran mengetahui penjelasan ini. Kanjeng Nabi Khaidir
berkata lagi kepada Syekh Malaya, “Cucuku, di sini ini banyak bahayanya, kalau
tidak mati-matian berani bertaruh nyawa, tentu tidak mungkin sampai di sini. Di
tempat ini segalanya tidak ada yang dapat diharapkan hasilnya. Mengandalkan
pikiranmu saja belum apa-apa, biarpun kamu tidak takut mati. Kutegaskan sekali
lagi, di sini kau tidak mungking mendapat apa yang kau maksudkan!”.
Syekh
Malaya bingung tidak tahu apa yang harus diperbuat, dia menjawab pertanyaan
Kanjeng Nabi Khaidir, bahwa dia tidak mengetahui akan langkah yang sebaiknya
perlu ditempuh setelah ini. Tidak tahu apa yang akan dilakukannya kemudian!
“Syekh Malaya pasrah diri kepada Kanjeng Nabi Khaidir , katanya terasa
memilukan”. Sang guru Kanjeng Nabi Khaidir menebak, “Apakah kamu juga sangat
mengharapkan hidayatullah Allah Tuhan Robbil Alamin?”.
Akhirnya
Kanjeng Nabi Khaidir menjelaskan, “ikutilah petunjukku sekarang ini!” “Kamu
telah berusaha menjalankan petunjuk gurumu kanjeng Sunan Bonang yang menyuruhmu
menuju kota Mekah, dengan keperluan melaksanakan Haji. Maka ketahuilah olehmu,
makna tugas itu yaitu : sungguh sulit menjalankan lika-liku kehidupan ini”.
“Jangan pergi kalau belum tahu yang kau tuju dan jangan makan kalau belum tahu
rasanya yang dimakan, jangan berpakaian kalau belum tahu kegunaan berpakaian.
Lebih jelasnya tanyalah sesama manusia sekaligus dengan persamaannya, kalau
sudah jelas amalkanlah!”.
“Demikianlah
seharusnya hidup itu, ibarat ada orang dari gunung(desa), akan membeli emas,
oleh tukang emas biarpun diberi kuningan tetap dianggap emas mulia. Demikianlah
pula dengan orang berbakti, bila belum yakin benar, pada siapakah yang harus
disembah?” Syekh Malaya ketika mendengar itu, spontan duduk berlutut mohon
belas kasihan, setelah mendapati kenyataan Kanjeng Nabi Khaidir betul-betul
serba tahu yang tersimpan di hatinya. Dengan duduk bersila dia berkata, “Yang
kami dengar akan kami laksanakan apa pun jadinya nanti. “Syekh Malaya meminta
kasih sayang, memohon keterangan yang jelas’, siapakah nama tuan? Mengapa di
sini sendirian? Sang Mahyuningrat menjawab, “sesungguhnya saya ini Kanjeng Nabi
Khaidir”. Syekh
Malaya berkata, “saya menghaturkan hormat sedalam-dalamnya kepada tuan
junjunganku dan mohon petunjuk serta perlu dikasihani, saya juga tidak tahu
benar tidaknya pengabdianku ini. Tidak lebih bedanya dengan hewan di hutan,
itupun masih tidak seberapa, bila mau menyelidiki kesucian diriku ini. Dapat
dikatakan lebih bodoh dan dungu serta tercela ibarat keris tanpa kerangka dan
ibarat bacaan tanpa isi tersirat”. Maka berkata dengan lembutnya Sang
Kanjeng Nabi Khaidir kepada Syekh Malaya. “Jika kamu berkehendak melaksanakan
Haji menuju Mekah, kamu harus tahu tujuan yang sebenarnya menuju Mekah itu.
Ketahuilah
Mekah itu hanya tapak tilas saja! Yaitu bekas tempat tinggal Nabi Ibrahim zaman
dahulu. Beliulah yang membangun Ka’bah Masjidil Haram serta yang menghiasi
Ka’bah itu dengan benda yang berupa batu hitam (Hajar Aswad) yang tergantung
didinding Ka’bah tanpa digantungkan. Apakah Ka’bah itu yang hendak kamu sembah?
Kalau itu yang menjadi niatmu, berarti kamu sama halnya menyembah berhala atau
bangunan yang dibuat dari batu. Perbuatanmu itu tidak jauh berbeda dengan yang
diperbuat oleh orang kafir, karena hanya sekedar menduga-duga saja wujud Allah
Tuhan Robbil Alamin yang disembah, dengan senantiasa menghadap kepada berhala. Oleh
karenanya itu, biarpun kamu sudah melaksanakan Haji, bila belum tahu tujuan
yang sebenernya dari ibadah Haji tentu kamu akan rugi besar. Alquran
menjelaskan : “aki mis sholata li zikri”artinya “dirikanlah sholat untuk
mengingat Allah”. Menuju Mekah perintah gurumu itu dimaksudkan : menuju Allah
Tuhan Robbil Alamin taklain tak bukan menegakan sholat, diperintahkan juga
mengambil air Zam-Zam bersuci dari hadas kecil-(mengambil air wudu’), maka dari
itu engkau harus memahaminya, hakekat sholat tersebut sebelum engkau
melaksanakannya. Kakekat sholat itu : “berdiri menyaksikan diri sendiri, kita
bersaksi dengan diri kita sendiri bahwa tiada yang nyata pada diri kita hanya
diri bhatin kita-(Allah) dan diri zohir kita-(Muhammad) yang membawa dan
menanggung rahasia Allah Tuhan Robbil Alamin”, Ketahuilah Mekah itu hanya tapak
tilas saja! Yaitu bekas tempat tinggal Nabi Ibrahim zaman dahulu. Beliulah yang
membangun Ka’bah Masjidil Haram serta yang menghiasi Ka’bah itu dengan benda
yang berupa batu hitam (Hajar Aswad) yang tergantung didinding Ka’bah tanpa
digantungkan. Apakah Ka’bah itu yang hendak kamu sembah? Kalau itu yang menjadi
niatmu, berarti kamu sama halnya menyembah berhala atau bangunan yang dibuat
dari batu. Perbuatanmu itu tidak jauh berbeda dengan yang diperbuat oleh orang
kafir, karena hanya sekedar menduga-duga saja wujud Allah Tuhan Robbil Alamin
yang disembah, dengan senantiasa menghadap kepada berhala. Oleh karenanya itu,
biarpun kamu sudah melaksanakan Haji, bila belum tahu tujuan yang sebenernya dari
ibadah Haji tentu kamu akan rugi besar. Alquran menjelaskan : “Aki mis sholata
li zikri-(QS. Taha : 145)”. artinya “dirikanlah sholat untuk mengingat Allah”.
Menuju Mekah perintah gurumu itu dimaksudkan : menuju Allah Tuhan Robbil Alamin
taklain tak bukan menegakan sholat, diperintahkan juga mengambil air Zam-Zam
bersuci dari hadas kecil-(mengambil air wudu’), maka dari itu engkau harus
memahaminya, hakekat sholat tersebut sebelum engkau melaksanakannya. Kakekat
sholat itu : “berdiri menyaksikan diri sendiri, kita bersaksi dengan diri
kita sendiri bahwa tiada yang nyata pada diri kita hanya diri bhatin
kita-(Allah) dan diri zohir kita-(Muhammad) yang membawa dan menanggung rahasia
Allah Tuhan Robbil Alamin”, sempurnanya roh diri Rahasia Allah itu dimasukkan
kedalam tubuh Adam as, Adam as pun berusaha berdiri sambil menyaksikan
keindahan tubuhnya dan berkata : Allahu Akbar (Allah Maha Besar), Peristiwa ini merupakan tajali
(perpindahan) diri rahasia Allah sehingga dapat di tanggung oleh manusia dengan
4 perkara yaitu : Wujud, Ilmu, Nur dan Syahadat. Jadi sembahyang
itu bukan sekali-kali berarti : Menyembah, tapi suatu istiadat penyaksian diri
sendiri dan sesungguhnya tiada diri kita itu adalah diri Allah semata. Kita
menyaksikan bahwa diri kitalah yang membawa dan menanggung rahasia Allah SWT.
Dan tiada sesuatu pada diri kita hanya rahasia Allah semata serta tiada sesuatu
yang kita punya : kecuali Hak Allah semata. Maka dari itu, ketahuilah bahwa
Ka’bah yang sedang kau tuju itu, bukannya yang terbuat dari tanah atau kayu
apalagi batu, tetapi Ka’bah yang hendak kau kunjungi itu sebenarnya
Ka’bahtullah (Ka’bah Allah Tuhan Robbil Alamin). Demikian itu sesunggunya iman
hidayah yang harus kamu yakinkan dalam hati”. Maka dari itu, ketahuilah bahwa
Ka’bah yang sedang kau tuju itu, bukannya yang terbuat dari tanah atau kayu
apalagi batu, tetapi Ka’bah yang hendak kau kunjungi itu sebenarnya
Ka’bahtullah (Ka’bah Allah Tuhan Robbil Alamin). Demikian itu sesunggunya iman
hidayah yang harus kamu yakinkan dalam hati”.
Kanjeng
Nabi Khaidir memerintah, “Syekh Malaya segeralah kemari secepatnya! Masuk ke
dalam tubuhku!” Syekh Malaya terhenyak hatinya tak dapat dicegah lagi,
keluarlah tawanya, bahkan sampai mengeluarkan air mata seraya berkata lucu.
“Melalui jalan manakah harus masuk ke dalam tubuhmu, padahal saya tinggi besar
melebihi tubuhmu, kira-kira cukupkah? Melalui jalan manakah usaha saya untuk
masuk?, nampak olehku buntu semua?. Kanjeng Nabi Khaidir berkata dengan lemah lembut.
“Besarmana kamu dengan bumi, semua ini beserta isinya, hutan rimba dan samudera
serta gunung tidak bakal penuh bila dimasukkan kedalam tubuhku, jangan khawatir
bila tak cukup masuklah di dalam tubuhku ini. Syekh Malaya setelah mendengarnya
semakin takut sekali dan bersedia melaksanakan tugas memasuki badan Kanjeng
Nabi Khaidir, namun bingung tak tahu cara melaksanakannya. Menolehlah Kanjeng
Nabi Khaidir ini jalan, di telingaku ini”. Syekh Malaya masuk dengan
segera melalui telinga Kanjeng Nabi Khaidir. Sesampainya di dalam tubuh Kanjeng
Nabi Khaidir, Syekh Malaya melihat samudera luas tiada bertepi sejauh mata
memandang, semakin diamati semakin jauh tampaknya. Kanjeng Nabi Khaidir
bertanya keras-keras, “hai apa yang kamu lihat?” Syekh Malaya segera
menjawab, “Angkasa Raya yang kuamati, kosong melompong jauh tidak kelihatan
apa-apa, kemana kakiku melangkah, tidak tahu arah utara selatan barat timur pun
tidak kami kenal lagi, bawah dan atas serta muka belakan, tidak mampu saya
bedakan. Bahkan semakin membingungkanku”.
Kanjeng
Nabi Khaidir berkata lemah-lembut, “usahakan jangan sampai bingung hatimu”.
Tiba-tiba Syekh Malaya melihat suasana terang benderang. Dihadapannya nampak
Kanjeng Nabi Khaidir, Syekh Malaya melihat Kanjeng Nabi Khaidir malayang di
udara kelihatan memancarkan cahaya gemerlapan. Saat itu Syekh Malaya melihat
arah utara selatan, barat dan timur sudah kelihatan jelas, atas serta bawah
juga sudah terlihat dan mampu menjaring matahari, tenang rasanya sebab melihat
Kanjeng Nabi Khaidir, rasanya berada di alam yang lain dari yang lain. Kanjeng Nabi Khaidir berkata
lembut, “jangan berjalan hanya sekedar berjalan, lihatlah dengan
sungguh-sungguh apa yang terlihat olehmu”. Syekh Malaya menjawad, “Ada warna
empat macam yang nampak padaku semua itu sudah tidak kelihatan lagi, hanya
empat macam yang kuingat yaitu hitam merah kuning dan putih”. Berkata
Kanjeng Nabi Khaidir, “yang pertama kau lihat cahaya mencorong tapi tidak tahu
namanya ketahuilah itu adalah pancamaya, yang sebenarnya ada di dalam
dirimu sendiri yang mengatur dirimu. Pancamaya yang indah itu disebut mukasyafah,
bila mana kamu mampu membingbing dirimu ke dalam sifat terpuji, yaitu sifat
yang asli. Maka dari itu jangan asal bertindak, selidikilah semua bentuk jangan
sampai tertipu nafsu. Usahakan semaksimal mungkin agar hatimu menduduki sifat
asli, perhatikan terus hatimu itu, supaya tetap dalam jati diri!”
Tentramlah hati Syekh Malaya, setelah mengerti itu semua dan baru mantap rasa
hatinya serta bahagia.
Kanjeng
Nabi Khaidir melanjutkan penjelasannya, “adapun yang kuning, merah, hitam serta
putih itu adalah penghalanya. Sebab isinya dunia ini sudah lengkap, yaitu
terbagi kedalam tiga golongan, semuanya adalah penghalang tingkah laku, kalau
mampu menjauhi itu pasti dapat berkumpul dengan ghaib, itulah yang menghalangi
meningkatkan citra diri. Hati yang tiga macam yaitu hitam, merah dan kuning,
semua itu menghalangi pikiran dan kehendak kita tiada putus-putusnya. Maksudnya
akan menghalangi menyatunya hamba dengan Allah Tuhan Robbil Alamin. Jika tidak
tercampur oleh tiga hal itu, tentu terjadi hilangnya jiwa, maksudnya
orang akan mencapai tingkatan Maqom Fana dan akan masuk Maqom Baqo
atau abadi. Senantiasa berdekatan rapat dengan Sang Pencipta-( Allah Tuhan
Robbil Alamin). Namun yang perlu diperhatikan dan diingat dengan seksama, bahwa
penghalang yang ada dalam hati, mempunyai kelebihan yang perlu kamu ketahui dan
sekaligus sumber inti kekuatannya. Yang hitam lebih perkasa, pekerjaanya marah,
mudah sakit hati, angkara murka secara membabi buta. Itulah hati yang
menghalangi, menutup kepada kebajikan. Sedangkan yang berwarna merah, membawa kepada nafsu yang
tidak baik, segala keinginan nafsu keluar dari si merah, mudah emosi dalam
mencapai tujuan, hingga menutup kepada hati yang sudah jernih tenang menuju
akhir hidup yang baik (khusnul khatimah). Adapun yang berwarna kuning
kemampuannya mengahalangi segala hal pikiran yang baik maupun pekerjaan yang
baik, yang menghalangi hati timbulnya pikiran yang baik menjadi membuat
kerusakan, menelantarkan ke jurang kehancuran. Sedangkan yang putih itulah yang
sebenarnya, membuat hati tenang serta suci tanpa ini itu, pahlawan dalam
kedamaian”.
Kanjeng
Nabi Khaidir memberi kesempatan bagi Syekh Malaya untuk merenungkan
penjelasannya tadi. Selanjutnya beliu berkata, “hanya itulah yang dapat
dirasakan manusia akan kesaksiannya. Sesungguhnya yang terwujud adanya, hanya
menerima anugrah semata-mata dan hanya itulah yang dapat dilaksanakan. Kalau
kamu tetap berusaha agar abadi berkumpulnya diri dekat Allah Tuhan Robbil
Alamin, maka senantiasalah menghadapi tiga musuh yang sangat kejam, besar dan
tinggi hati-(sombong) itu. Ketiga musuhmu saling kerjasama, padahal si putih
tanpa teman, hanya sendirian saja, makanya sering dapat dikalahkan. Kalau
sekiranya dapat mengatasi akan segala kesukaran yang timbul dari tiga hala itu
terjadilah persatuan erat wujud, jika tanpa berpedoman itu semua tidak akan
terjadi persatuan eret antara manusia dan Penciptanya-( Allah Tuhan Robbil
Alamin)”. Syekh Malaya sudah memahaminya, dengan semangat mulai berusaha
disertai tekad membaja demi mendapatkan pedoman akhir kehidupan, demi
kesempurnaan dekatnya dengan Allah Tuhan Robbil Alamin.
Kanjeng
Nabi Khaidir kembali melanjutkan wejanganya, “Setelah hilang empat macam warna
ada hal lain lagi nyala satu delapan warnanya”. Syekh Malaya berkata, “Apakah
namanya, nyala satu delapan warnanya, apakah yang dimaksud sebenarnya? Nyalanya
semakin jelas nyata, ada yang tampak berubah-ubah warna menyambar-nyambar, ada
yang seperti permata yang berkilau tajam sinarnya”. Sang Kanjeng Nabi Khaidir berpesan,
“Nah, itulah sesungguhnya Esa. Pada dirimu sendiri sudah tercakup makna di
dalamnya, rahasianya terdapat pada dirimu juga, serta seluruh isi bumi
tergambar pada tubuhmu dan juga seluruh alam semesta. Dunia kecil tidak jauh
berbeda. Ringkasnya, utara, barat, selatan, timur, atas serta bawah. Juga warna
hitam, merah, kuning dan putih itulah isi kehidupan dunia. Didunia kecil dan
alam semesta, dapat dikatakan semua isinya. Kalau ditimbang dengan yang ada
dalam dirimu ini, kalau hilang warna yang ada, dunia kelihatan kosong
kesulitannya tidak ada, dikumpulkan kepada wujud rupa yang satu, tidak lelaki
tidak pula perempuan. Sama pula dengan bentuk yang ada ini, yang bila dilihat
berubah-ubah putih. Camkanlah dengan cermat semua itu”. Syekh Malaya mengamati,
“yang seperti cahaya berganti-ganti kuning, cahayanya terang benderang
memancar, melingkar mirip pelangi, apakah itu yang dimaksudkan wujud dari Dzat
yang dicari dan didambakan? yang merupakan hakikat wujud sejati?”. Kanjeng
Nabi Khaidir menjawab dengan lemah lembut, “itu bukan yang kau dambakan, yang
dapat menguasai segala keaadaan. Yang kamu dambakan tidak dapat kamu lihat,
tiada bentuk apalagi berwarna, tidak berwujud, tidak dapat ditangkap mata, juga
tidak bertempat tinggal hanya dapat dirasakan oleh orang yang awas mata
hatinya, hanya berupa pengambaran-pengambaran-(simbol) yang memenuhi jagad
raya, dipegang tidak dapat. Bila yang kamu lihat, yang nampak seperti
berubah-ubah putih, yang terang benderang sinarnya, memancarkan sinar yang
menyala-nyala. Sang Permana itulah sebutannya, hidupnya ada pada dirimu.
Permana itu menyatu pada dirimu sendiri, tempat tinggalnya pada ragamu. Jika
Sang Permana meninggalkan tempatnya, tidak ikut suka dan duka, juga tidak ikut
sakit dan menderita raga menjadi tak berdaya dan pastilah lemah seluruh badanm.
Permanalah, yang merasakan kehidupan yang mengerti rahasia di dunia. Dan itulah
yang sedang mengenai pada dirimu seperti diibaratkan pula pada hewan yang
tumbuh di sekitar raga hidupnya karena adanya Permana, dihidupi oleh
nyawa yang mempunyai kelebihan mengusai seluruh badan. Permana itu bila mati
ikut menggung, namun bila telah hilang nyawanya kemudian yang hidup hanya sukma
atau nyawa yang ada. Kehilangan itulah yang didapatkan, kehidupan nyawalah yang
sesungguhnya, yang sudah berlalu diibaratkan seperti rasanya pohon yang tidak
berbuah, sang Permana yang mengetahui dengan sadar, sesungguhnya satu asal.
Menjawablah Syekh Malaya, “Kalau begitu manakah warna bentuk sebenarnya?”
kanjeng Nabi Khaidir berkata, “Hal itu tidak dapat kamu pahami di dalam keadaan
nyata semata-mata, tidak semudah itu untuk mendapatkannya”, Syekh Malaya
menyela pembicaraan “Saya mohon pelajaran lagi, sampai saya paham betul,
sampai putus. Saya menyerahkan hidup dan mati, demi mengharapkan tujuan yang
pasti, jangan sampai tanpa hasil”.
Kanjeng
Nabi Khaidir berkata lembut dan manis yang isinya bercampur perlambang dan
sindiran, “Misalnya ada orang membicarakan sesuatu hal, lotnya seharusnya baik,
nyatanya lotnya justru merupakan bumbunya yang bercampur dengan rahasia yang
terasa sebagai jiwa suci. Nubuwah yang penuh rahasia itu sebenarnya rahasia
ini, Yaitu “ketika masih berada di sifat jamal ialah jauhar awal bila sudah
keluar menjadi jauhar akhir yang sudah dewasa, yang awal itulah rahasia sejati”.
Si jauhar akhir itu ternyata dalam satu wujud, satu mati dan satu hidup dengan
jauhar, ketika dalam kesatuan satu wujud, satu raksa, satu hidup menyatu dalam
keadaan sehidup-semati. Segala ulah jauhar akhir selamanya bersikap pasrah,
sedangkan jauhar batin ini ialah yang dipuji dan disembah hanyalah Allah Tuhan
Robbil Alamin yang sejati. Tidak ada sama sekali rasa sakit karena sebenarnya
kamu ini nukad ghaib. Nukad ghaib ialah ketika di masa awal atau kuno, ia tidak
hidup juga tidak mati. Sebenarnya yang dikatakan nukad itu, tidak lain ghaib
jugalah namanya. Setelah datangnya nukad itu, yang sudah hidup sejak dulu,
dicipta menjadi Alif. Alif itu sendiri jisim latif. Dan keberadaanmu yang
sebenarnya itulah yang disebut atau dinamakan neqdu”. Sambil menghela nafas Kanjeng
Nabi Khaidir berkata pelan, “Sekarang jauhar sejati, yaitu namamu itu semasa
hidup ialah syahadat jati. Dalam hidup dan kehidupanmu disebut juga darah
hidup. Darah hidup itu sendiri ialah yang dinamakan Rasulullah rasa
sejati. Syahadat jati adalah darah, tempat segala Dzat atau makhluk
merasakan rasa yang sebenarnya tentang hidup dan kehidupan. Yang dikenal Jibril-Muhammad-Allah
Tuhan Robbil Alamin. Sedangkan keempatnya adalah yang disebut darah
hidup. Jelasnya coba perhatikan orang mati! Apa darahnya masih ada? darah
itu kini hilang, hilangnya bersama atau menyatu dengan sukma. Sukma atau
ruh hilang dan kembali pada Alif itu disebut Ruh Idhafi. Pengertian
jisim Latif ialah Jisim Angling yang sudah ada terdahulukala yaitu Alif yang
disebut Angling. Padahal alif itu tanpa mata, tidak berkata-kata dan
tidak mendengar, tanpa perilaku dan tidak melihat. Dan itulah Alif, yang
artinya, menjadi Alif itu karena dijabarkan atau dikembangkang. Bukankah ruh
Idhafi itu bagian Dzatullah”?. Kanjeng Nabi Khaidir berkata, “Adapun
wujud sesungguhnya alif itu, asal muasalnya berasal dari jauhar alif itu yang
dinamakan Kalam Karsa. Timbullah hasrat kehendak Allah Tuhan Robbil
Alamin untuk menjadikan terwujudnya dirimu. Dengan adanya wujud dirimu
menunjukkan akan adanya Allah Tuhan Robbil Alamin sesungguhnya. Allah Tuhan
Robbil Alamin tidak mungkin ada dua apalagi tiga. Siapa yang mengetahui asal
muasal kejadian dirinya, saya berani memastikan bahwa orang itu tidak akan
membanggakan dirinya sendiri (menjadi sombong)! Adapu sifat jamal (sifat yang
bagus) itu ialah, sifat yang selalu berusaha menyebutkan bahwa pada dasarnya
adanya dirinya itu, karena adanya yang mewujudkan keberadannya”. Kanjeng
Nabi Khaidir menandaskan penjelsannya, “Demikianlah yang difirmankan Allah Tuhan
Robbil Alamin kepada Nabi Muhammad yang menjadi kekasih-Nya, bunyi firman-Nya
sebagai berikut : “kalau tidak ada dirimu, Saya (Allah Tuhan Robbil Alamin)
tidak akan dikenal atau disebut”. Hanya dengan sebab adanya kamulah yang
menyebut akan keberadaan-Ku. Sehingga kelihatan seolah-olah satu dengan dirimu.
Adanya Aku (Allah Tuhan Robbil Alamin), menjadikan ada dirimu, Wujudmu
menunjukkan adanya wujud Dzat-Ku. Dan untuk menjelaskan jati dirimu,
tidakkah kau sadari, bahwa hampir ada persamaan Asma-Ku yang baik-(Asmaul
Husna) dengan sebutan manusia yang baik itu semua kau maksudkan untuk
memudahkan pengambaran perwujudan tentang Diri-Ku. Padahal kau tahu, Aku berada
dengan dirimu, yang tak mungkin dapat disamakan satu sama lain. Dan kamu pasti
mengalami dan tidak mungkin dapat melukiskan atau menyebutkan Asma-Ku dengan
setepat-tepatnya. Namamu yang baik dapat menyerupai nama-Ku yang baik.
Selanjutnya Kanjeng Nabi Khaidir bertanya, “Apakah kamu sudah dapat meraih
sebutan nama yang baik itu? baik di dunia maupun di akhirat? kamu ini merupakan
penerus atau pewaris Muhammad Rasulullah, sekaligus Nabi Allah Tuhan
Robbil Alamin. Ya Illahi, ya Allah Tuhan Robbil Alamin ya Tuhanku”.
Kanjeng
Nabi Khaidir melanjutkan memberi penjelasan pada Sunan Kalijaga, “Tanda-tanda
adanya Allah Tuhan Robbil Alamin itu, ada pada dirimu sendiri harap direnungkan
dan diingat betul. Asal mula Alif itu akan menjadikan dirimu bersusah-payah
selagi hidup, Budi Jati sebutannya. Yang tidak terasa, menimbulkan budi
atau usaha untuk mengatasi lika-liku kehidupan. Bagi orang yang senang
membicarakan dan memuji dirinya sendiri, akan dapat melemahkan semangat
usahanya, antara tidak dan ya, penuh dengan kebimbangan. Sedang yang
dimaksudkan dengan jauhar budi (mutiara budi) ialah, bila sudah mengetahui
maksud dan budi iman yaitu menjalankan segala tingkah laku dengan
didasari keimanan kepada Allah Tuhan Robbil Alamin. Alif tercip karena sudah
menjadi ketentuan yang sudah digariskan. Sesungguhnya Alif itu, tetap kelihatan
apa adanya dan tidak dapat berubah. Itulah yang disebur Alif. Adapun bila
terjadi perubahan, itulah yang disebut Alif Adi, yang menyesuaikan diri
dengan keadaanmu Mutiara awal kehidupan (jauhar awal) dimaksudkan dengan
kehidupan tempo-dulu yang betul-betul terjadi sebagaimana tinja junub dan
jinabat. Jauhar awal ibarat bebauan atau aroma, akan tiba saatnya tidak boleh
tidak akan kita laksanakan dan rasakan di dalam kehidupan kita didunia.
Jelasnya, kehidupan yang telah digariskan sebelumnya oleh jauhar itu, telah
memuat garis hidup dan mati kita. Segalanya telah ditentukan di dalam jauhar
awal.
Dari
keterangan tentang jauhar awal tadi, tentu akan menimbulkan pertanyaan,
diantaranya, mengapa kamu wajib shalat di dalam dunia ini? Penjelasannya
demikian : Asal mula diwajibkan menjalankan shalat itu ialah disesuaikan dengan
ketentuan di zaman azali, kegaiban yang kau rasakan, bukankah juga berdiri
tegak, bersidakep mencipkatakan keheningan hati, menyatukan konsentrasi,
menyatukan segala gerakmu? Ucapanmu juga kau satukan, akhirnya kau rukuk tunduk
kepada yang menciptakanmu. Merasakan malu, sehingga menimbulkan keluar air
matamu yang jernih, menjadikan tenanglah segala kehidupan ruhmu. Rahasi iman
dapat kau resapi setelah merasakan semua itu, mengapa harus sujud ke bumi?
Pangkal mula dikerjakan sujud bermula adanya cahaya yang memberi pertanda
pentingnya sujud. Yaitu merasa berhadapan dengan wujud Allah Tuhan
Robbil Alamin, biarpun tidak dapat melihat Allah Tuhan Robbil Alamin dengan
sesungguhnya, yakinlah bahwa Allah Tuhan Robbil Alamin melihat segala gerak
kita-(ikhsan). Dengan adanya agama Islam yang dimaksudkan, agar makhluk yang
ada di bumi dan di langit termasuk dirimu itu, beribadah sujud kepada Allah
Tuhan Robbil Alamin dengan hati yang ikhlas sampai kepalamu diletakkan di muka
bumi, bumi beserta segala keindahannya tidak tampak dihadapanmu, hatimu hanya
satu tujuan ingat Allah Tuhan Robbil Alamin semata-mata. Yang demikianlah
seharusnya perasaanmu, senantiasa merasa sujud dimuka bumi ini. Mengapa pula
menjalankan duduk diam seakan-akan menunggu sesuatu? Melambungkan pengosongan
diri dengan harapan ketemu Allah Tuhan Robbil Alamin. Walaupun sebenarnya tidak
dapat mempertemukan dengan Allah Tuhan Robbil Alamin.pada Haqnya Allah Tuhan
Robbil Alamin yang kau sembah itu betul-betul ada, lalu berucap kalimat :
“Ashaduallah Illahaillallah Muhammadararosulullah”.
Jika
engkau sudah memahami, “Ashaduallah Illahaillallah” itu maksudnya : yang ada
hanya Allah SWT berarti dirimu kini sudah tiada/mati yang disebut dengan Hari
Akhir, maka terhapuslah segala yang engkau punya termasuk nama yang kau sandang
sekarang ini yang ada tinggal wadah(Qhadar), baik dan buruknya milik Allah
Tuhan Robbil Alamin, sebab yang ada hanyalah Allah Tuhan Robbil Alamin tempat
engkau berserah diri.
Dan jika engkau sudah memahami, “Muhammadarasulullah” itu maksunya : Jikalau
perasaan wujud dirimu masih ada itulah wujud sesunggungnya : Muhammad
Rasulullah (khalifah dimuka bumi ini).
Hadis
Kurdsi : “ Antal mautukoblal maut” artinya matilah sebelum mati.
Maksudnya
: Jika engkau sudah memahami janganlah sekali-kali dirimu menganggap sebagai
Allah Tuhan Robbil Alamin, dan jangan juga menganggap sebagai Muhammad
Rasulullah engkau sudah memahami detik ini engkau sudah tiada-(mati), inilah
yang sesungguhnya dikatakan kematian sempunna. Hanya kepada Allah Tuhan Robbil
Alamin-lah tempat kamu mengabdikan diri, “innasolati wanusuki wama yayah wama
mati lillahirobbil alamin” dengan sesungguhnya Haq disebut Iman Hidayah. Jadikanlah sepanjang hidupmu
berikhtiar menggapai kebaikan, keindahan juga kebahagiaan apapun yang kau
inginkan tanpa kenal menyerah, namun jika sebaliknya yang kau dapatkan (kau
rasakan) maka berserah dirilah Ihklas seihklas-ihklasnya menyerahkan diri dalam
keredoan Allah Tuhan Robbil Alamin, itulah sesunggunya Haq Iman Hidayah-mu
dari Allah Tuhan Robbil Alamin sebagai perintah Tuhan kepada hambanya yang
memang wajib engkau jalani. Untuk menemukan rahasia (rahsa) yang sebenarnya
herus jeli, sebab antara rahasia yang satu berbeda dengan rahasia yang lain.
Dari Allah Tuhan Robbil Alamin-lah Nabi Muhammad mengetahui segala rahasia yang
tersembunyi. Nabi Muhammad sebagai makhluk yang dimuliakan Allah Tuhan Robbil
Alamin. Beliu tidak pernah meninggalkan sholat maka kemulyaan untuknya, tidah
lepas dalam berpuasa (shabar) dimuliakan makhluk-Nya, mau mengeluarkan shodagoh
Dimuliakan makhluk-Nya, dan mampu melaksanakan Haji dimuliakan makhluk-Nya”.
Kanjeng
Nabi Khaidir berhenti sejenak, lalu berkata “matahari berbeda dengan bulan,
perbedaannya terdapat pada cahaya yang dipancarkannya. Sudahkah hidayah iman
terasa dalam dirimu? Tauhid adalah pengetahuan penting untuk menyembah pada
Allah Tuhan Robbil Alamin, juga makrifatullah harus kita miliki untuk
mengetahui kejelasan yang terlihat, ya ru’yat (melihat dengan mata telanjang)
sebagai saksi adanya yang terlihat dengan nyata. Maka dari itu dalami sifat dari
Allah Tuhan Robbil Alamin, sifat Allah yang sesungguhnya yang Asli, asli dari
Allah Tuhan Robbil Alamin. Sesungguhnya Allah Tuhan Robbil Alamin itu, Tuhan
yang hidup. Segala afalnya (perbuatanya) adalah bersal dari Allah Tuhan Robbil
Alamin. Itulah yang dimaksud dengan ru’yati. Kalau hidupmu senantiasa
kamu gunakan ru’yat, maka itu namanya khairat (kebajikan hidup).
Makrifatullah itu hanya ada di dunia, Jauhar awal khairat (mutiara awal
kebajikan hidup), sudah berhasil engkau dapatkan?. Untuk itu secara tidak
langsung kamu sudah mendapatkan pengawasan kamil (penglihatan yang sempurna). Insan
Kamil (manusia yang sempurna) berasal dari Dzatullah (Dzatnya Allah Tuhan
Robbil Alamin). Sesungguhnya ketentuan ghaib yang tersurat, adalah kehendak
Dzat yang sebenarnya. Sifat Allah Tuhan Robbil Alamin berasal dari Dzat Allah
Tuhan Robbil Alamin. Dinamakan Insan Kamil kalau mengetahui keberadaan
Allah Tuhan Robbil Alamin itu. Bilamana tidak tertulis namamu, di dalam nuked
ghaib insan kamil, itu bukan berarti tidak tersurat. Ya, itulah yang dinamakan puji
budi (usaha yang terpuji). Berusaha memperbaiki hidup, akan menjadikan
kehidupan nyawamu semakin baik. Serta badannya, akan disebut badan Muhammad,
yang mendapat kesempurnaan hidup”.
Syekh
Malaya berkata lemah lembut, “mengapa sampai ada orang mati yang dimasukkan
neraka? Mohon penjelasan yang sebenarnya”. Kanjeng Nabi Khaidir berkata dengan tersemyum manis,
“Wahai Malaya! Maksudnya begini. Neraka jasmani juga berada di dalam dirimu
sendiri, dan yang diperuntukkan bagi siapa saja yang belum mengenal dan meniru
ahlaqqul Nabiyullah, hanya ruh yang tidak mati. Hidupnya ruh jasmani itu jika
tidak meniru ahlaqqul Nabiyullah sama dengan sifat hewan, maka akan dimasukkan
ke dalam neraka. Juga yang mengikuti bujuk rayu iblis, atau yang mengikuti
nafsu yang merajalela seenaknya tanpa terkendali, tidak menempatkan sesuatu itu
pada tempatnya-(tertib) sama juga tidak mengikuti petunjuk Allah Tuhan
Robbil Alamin. Mengandalkan ilmu saja, tanpa memperdulikan sesama manusia
keturunan Nabi Adam, itu disebut iman tadlot. Ketahuilah bahwa umat
manusia itu termasuk badan jasmanimu. Pengetahuan tanpa guru itu, ibarat
orang menyembah tanpa mengetahui yang disembah. Dapat menjadi kafir tanpa
diketahui, karena yang disembah kayu dan batu, tidak mengerti apa hukumnya,
itulah kafir yang bakal masuk neraka jahanam.
Adapun
yang dimaksudkan Rud Idhafi adalah sesuatu yang kelak tetap kekal sampai akhir
nanti kiamat dan tetap berbentuk ruh yang berasal dari ruh Allah Tuhan Robbil
Alamin. Yang dimaksud dengan cahaya adalah yang memancar terang serta tidak
berwarna, yang senantiasa menerangi hati penuh kewaspadaan yang selalu mawas
diri atau introspeksi mencari kekurangan diri sendiri serta mempersiapkan akhir
kematian nanti. Merasa sebagai anak Adam yang harus mempertanggungjawabkan
segala perbuatan. Ruh Idhafi sudah ada sebelum tercipta. Syirik itu dapat
terjadi, tergantung saat menerima sesuatu yang ada, itulah yang disebut Jauhar
Ning. keenamnya jauhar awal. Jauhar awal adalah mutiara ibaratnya. Mutiara yang
indah penghias raga nampak menarik. Mutiara akan tampak indah menawan. Bermula
dari ibarat ketujuh, dikala mendengarkan sabda Allah Tuhan Robbil Alamin, maka
Ruh Idhafi akan menyesuaikan, yang terdapat di dalam Dzat Allah Tuhan Robbil
Alamin Yang Mutlak.
Ruh serba pasrah kepada Dzatullah, itullah yang dimaksudkan Ruh Idhafi.
Jauhar awal itu pula, yang menimbulkan Shalat Daim. Shalat Daim tidak
perlu mengunakan air wudhu, untuk membersihkan khadas tidak disyaratkan. Itulah
shalat batin yang sebenarnya, diperbolehkan makan tidur syahwat maupun buang
kotoran. Demikianlah tadi cara shalat Daim. Perbuatan itu termasuk hal terpuji,
yang sekaligus merupakan perwujudan syukur kepada Allah Tuhan Robbil Alamin.
Jauhar tadi bersatu padu menghilangkan sesuatu yang menutupi atau mempersulit
mengetahui keberadaan Allah Tuhan Robbil Alamin. Adanya itu menujukkan adanya
Allah Tuhan Robbil Alamin, yang mustahil kalau tidak berwujud sebelumnya. Kehidupan
itu seperti layar dengan wayangnya, sedang wayang itu tidak tahu warna dirinya.
Akibat junub sudah bersatu erat tetap bersih badan jisimmu. Muhammad badan
Allah Tuhan Robbil Alami, Nama Muhammad tidak pernah pisah dengan nama
Allah Tuhan Robbil Alamin. Dapat pula disebut utusan Allah Tuhan Robbil Alamin,
Nabi Muhammad juga termasuk badan mukmin atau orang yang beriman. Ruh mukmin
identik pula dengan Ruh Idhafi dalam keyakinanmu, Disebut iman maksum
kalau sudah mendapat ketetapan sebagai panutan jati. Bukankah demikian itu
pengetahuanmu? Kalau tidak hidup begitu, berarti itu sama dengan hewan yang
tidak tahu adanya sesuatu di masa yang telah lewat. Kelak, karena tidak
mengetahui ke-Islaman, maka matinya tersesat, kufur serta kafir
badannya. Namun bagi yang telah mendapatkan pembelajaran ini, segala
permasalahan dipahami lebih seksama baru dikerjakan, Allah Tuhan Robbil Alamin
itu tidak berjumlah tiga. Yang menjadi suri tauladan adalah Nabi Muhammad.
Bukankah sebenarnya orang kufur itu, mengingkari empat masalah prinsip.
Di
antaranya :
- Bingung karena tiada pedoman
manusia yang dapat diteladani.
- Kekafiran mendekatkan pada
kufur kafir.
- Fakhir dekat dengan kafir.
- Sebabnya karena kafir itu, buta
dan tuli tidak mengerti tentang surga dan neraka.
Fakhir
tidak akan mendekatkan pada Tuhan. Tidak mungkin terwujud pendekatan ini, juga
dipastikan tidak menyembah dan memuji, karena kekafirannya. Seperti itulah kalau fakhir
terhadap Dzatullah. Dan sesungguhnya Allah Tuhan Robbil Alamin, mematikan
kefakhiran manusia, kepastiannya ada di tanga Allah Tuhan Robbil Alamin
semata-mata. Adapun wujud Dzatullah itu, tidak ada satu makhluk pun yang
mengetahui kecuali Allah Tuhan Robbil Alamin sendiri. Ruh Idhafi menimbulkan
iman. Ruh Idhafi berasal dari Allah Tuhan Robbil Alamin Yang Maha Esa, itulah
yang disebut iman tauhid, yaitu meyakini adanya Allah Tuhan Robbil
Alamin juga adanya Muhammad sebagai Rasulullah. Tauhid hidayah yang sudah ada
padamu, menyatu dengan Allah Tuhan Robbil Alamin, baik di dunia maupun di
akhirat. Dan kamu harus meyakini bahwa Allah Tuhan Robbil Alamin itu ada dalam
dirimu. Ruh Idhafi ada di dalam dirimu itu Makrifatullah sebutannya,
dalam kehidupanmu disebut Syahadat, sebab hidup tunggal didalam hidup,
sujud rukuk sebagai penghiasnya. Rukuk berarti dekat atau menuju kepada Allah
Tuhan Robbil Alamin, Sujut berarti Engkau menyatukan dirimu kepada Allah Tuhan
Robbil Alamin. Penderitaan yang selalu menyertai menjelang ajal tidak akan
terjadi padamu, jangan takut menghadapi sakaratil maut. Jangan ikut-ikutan
takut menjelang pertemuanmu dengan Allah Tuhan Robbil Alamin. Perasaan takut
itulah yang disebut dengan sekarat.
Ruh
Idhafi itu tidak akan mati, hidup mati, mati hidup. Akuilah sedalam-dalamnya
bahwa keberadaanmu itu, terjadi karena Allah Tuhan Robbil Alamin itu hidup dan
menghidupi dirimu, dan menghidupi segala yang hidup. Sastra Alif-(huruf alif)
harus dimintakan penjelasannya pada guru-(ahlinya). Jabar jer-nya pun harus
berani susah payah mendalaminya. Terlebih lagi pengetahuan tentang kafir dan syirik!
Sesungguhnya semua itu, tidak dapat dijelaskan dengan tepat maksud
sesungguhnya. Orang yang menjelaskan syariat itu-(ahlinya) berarti sudah
mendapatkan anugrah sifat Allah Tuhan Robbil Alamin. Sebagai sarana pengabdian
hamba kepada Allah Tuhan Robbil Alamin. Yang menjalankan shalat sesungguhnya
raga, raga yang shalat itu terdorong oleh adanya iman yang hidup pada diri
orang yang menjalankannya. Seandainya nyawa tidak hidup, maka Lam
Tamsyur-(tidak akan menolong) semua perbuatan yang dijalankan. Secara yang
tersurat, shalat itu adalah perbuatan dan kehendak orang yang menjalankan,
namun sebenarnya Allah Tuhan Robbil Alamin-lah yang berkehendak atas hambanya
itu. Itulah hakikat dari Tuhan pencipta Ruh Idhafi berada di tangan orang
mukmin. Semua ruh berada di tangan-Nya, yaitu terdapat pada Ruh Idhafi. Ruh
Idhafi adalah sifat jamal (sifat yang bagus atau indah) keindahan yang berasal
Dzatullah. Ruh Idhafi nama sebuah tingkatan (maqom), yang tersimpan pada diri
utusan Allah Tuhan Robbil Alamin-(Rasulullah). Syarat jisim lathif (jasad
halus) itu, harus tetap hidup dan tidak boleh mati. Cahayanya berasal dari ruh itu,
yang terus menerus meliputi jasad. Yang mengisayaratkan sifat jalal (sifat yang
perkasa) dan sekaligus mengisyaratkat adanya sifat jamal (sifat keindahan).
Jauhar awal mayit (mutiara awal kematian) itu, memberi isyarat hilangnya diri
ini. Setelah semua menemui kematian di dunia, maka akan berganti hidup di
akherat. Kurang lebih tiga hari perubahan hidup itu pasti terjadi. Asal mula
manusia terlahir, dari adanya Ayah, Ibu serta Tuhan Yang Maha
Pencipta. Satu kelahiran berasal dari tiga asal lahir. Yaitulah isyarat
dari tiga hari. Setelah dititipkan selama tujuh hari, maka dikembalikan kepada
yang meninipkan (yang memberi amanat). Titipan itu harus seperti sedia kala.
Bukankah tauhid itu sebagai sarana untuk makrifaullah? Titipan yang ketiga
puluh hari itu juga termasuk juga titipan yang ada, hanya kemiripan dengan yang
tujuh hari, mengeluarkan air mata karena menyesali sewaktu masih hidup. Seperti
teringat semasa kehidupan itu berasal dari Nur, yang mana cahayanya mewujudkan
dirimu. Hal itulah yang menimbulkan kesedihan dan penyesalan yang
berkepanjangan, tak terkecuali siapun yang merasakan itu semua, sebagaimana
kamu mati, saya merasa kehilangan. Mati atau hilang bertepatan hari
kematian yang keempat puluh hari, lebih tepat untuk melukiskan persamaan sesama
makhluk hidup secara keseluruhannya? Allah Tuhan Robbil Alamin dan Muhammad
semuannya berjumlah satu, seratuspun dapat dilukiskan seperti satu bentuk,
seperti diibaratkan dengan adanya cahaya yang bersember dari cahaya Muhammad
yang sesungguhnya. Sama hal pada saat kamu memohon sesuatu, ruh jasad hilang di
dalam kehadirat Tuhan Yang Maha Pemberi. Tepat pada hari keseribu, tidak ada
yang tertinggal. Kembalinya pada Allah Tuhan Robbil Alamin sudah dalam keaadaan
yang sempurna. Sempurna seperti mula pertama dalam keadaan yang sempurna.
Sempurna seperti mula pertama diciptakan”. Syekh Malaya terang hatinya,
mendengarkan pembelajaran yang baru diterima dari gurunya Syekh Mahyuningrat
Kanjeng Nabi Khaidi,. sangkingkan bahagia hatinya sehingga beliu belum mau
keluar dari dalam tubuh Kanjeng Nabi Khaidir. Syekh Malaya menghaturkan sembah,
sambil berkata manis seperti gula madu. “Kalau begitu hamba tidak mau keluar
dari raga dalam tuan. Lebih nyaman di sini saja yang bebas dari sengsara
derita, tiada selera makan tidur, tidak merasa ngantuk dan lapar, tidak harus
bersusah payah dan bebas dari rasa pegal dan nyeri, yang terasa hanyalah rasa
nikmat dan manfaat”. Kanjeng Nabi Khaidir memperingatkan, “yang demikian tidak
boleh, kalau tanpa kematian”.
Kanjeng
Nabi Khaidir melanjutkan memberi penjelasan pada Sunan Kalijaga, “kalau begitu
yang awas sajalah terhadap hambatan upaya, jangan sampai kau kembali. Memohonlah
yang benar dan waspada. Anggaplah kalau sudah kau kuasai, jangan hanya
digunakan dengan dasar bila ingat saja, karena hal itu sebagai rahasia Allah
Tuhan Robbil Alamin. Tidak diperkenankan mengobrol kepada sesama manusia, kalau
tanpa seizin-Nya! Jangan sampai terlanjur! yang lebih mulia lagi jangan sampai membanggakan diri!
Jangan peduli terhadap gangguan, cobaan hidup! Tapi justru terimalah dengan
sabar! Hidup tanpa ada yang menghidupi kecuali Allah Tuhan Robbil Alamin saja.
Tiada antara lamanya tentang adanya itu. Bukankah sudah berada di tubuh?
Sungguh, bersama lainnya selalu ada dengan kau! Tak mungkin terpisahkan!
Kemudian tidak pernah memberitahukan darimana asalnya dulu. Yang menyatu dalam
gerak perputaran bawana. Cara mendengarnya adalah denga ruh sejati, tidak
menggunakan telinga. Cara melatihnya, juga tanpa dengan mata. Adupun
telingannya, matanya yang diberikan oleh Allah Tuhan Robbil Alamin. Ada padamu
itu. Secara batinnya ada pada sukma itu sendiri. Memang demikianlah
penerapannya. Ibarat seperti batang pohon yang dibakar, pasti ada asap apinya,
menyatu dengan batang pohonnya. Ibarat air dengan alunnya. Seperti minyak
dengan susu, tubuhnya dikuasai gerak dan kata hati. Demikian pun dengan Hyang
Sukma, sekiranya kita mengetahui wajah hamba Tuhan dan sukma yang kita
kehendaki ada, diberitahu akan tempatnya seperti wayang ragamu itu. Karena
datanglah segala gerak wayang. Sedangkan panggungnya jagad. Bentuk wayang
adalah sebagai bentuk badan atau raga. Bergerak bila digerakkan. Segala-galanya
tanpa kelihatan jelas, perbuatan dengan ucapan. Yang berhak menentukan
semuanya, tidak tampak wajahnya. Kehendak justru tanpa wujud dalam bentuknya.
Karena sudah ada pada dirimu. Permisalan yang jelas ketika berhias, yang
berkaca itu Hyang Sukma, adapun bayangan dalam kaca itu ialah dia yang bernama
manusia sesungguhnya, terbentuk di dalam kaca. Lebih besar lagi pengetahuan
tentang kematian ini dibandingkan dengan kesirnaan jagad raya, karena lebih
lembut seperti lembunya air. Bukankah lebih lembut kematian manusia ini?
Artinya lembut kesirnaan manusia? Artinya lebih dari menentukan segalanya.
Sekali lagi artinya lembut ialah sangat kecilnya. Dapat mengenai yang kasar dan
yang kecil. Mencakup semua yang merangkak, melata tiada bedanya, benar-benar
serba lebih. Lebih pula dalam menerima perintah dan tidak boleh mengandalkan
pada ajaran dan pengetahuan. Karena itu bersungguh-sungguhlah menguasainya.
Pahamilah liku-liku seolah tingkah kehidupan manusia! Ajaran itu sebagai ibarat
benih, sedangkan yang diajari ibarat lahan, diibaratkan juga kacang
kedela, yang disebar di atas batu, kalau batunya tanpa tanah pada saat
kehujanan dan kepanasan, pasti tidak tidak akan tumbuh. Tapi bila kau
bijaksana, melihat dirimu musnahkanlah pada matamu! Jadikanlah penglihatanmu sukma
dan rasa. Demikian pula wujudmu, suaramu. Serahkan kembali kepada yang
Mempunyai suara! Justru kau hanya mengakui saja sebagai pemiliknya. Sebenarnya
hanya mengatasnamai saja. Maka dari itu kau jangan memiliki kebiasaan yang
menyimpang, kecuali hanya kepada Hyang Agung. Dengan demikian kau Hangraga
Sukma yaitu kata hatimu sudah bulat menyatu dengan kawula Gusti Tuhan
Robbil Alamin. Bicarakanlah manurut pendapatmu! Bila pendapatmu benar-benar
meyakinkan, bila masih merasakan sakit dan was-was, berarti kejangkitan bimbang
yang sebenarnya. Bila sudah menyatu dalam satu wujud. Apa kata hatimu dan apa
yang kau rasakan. Apa yang kau pikir terwujud ada. Yang kau cita-citakan
tercapai. Berarti sudah benar untukmu. Sebagai upah atas kesanggupanmu sebagai
khalifah di dunia. Bila sudah memahami dan menguasai amalan dan ilmu ini,
hendaknya semakin cermat dan teliti atas berbagai masalah. Masalah itu
satu tempat dengan pengaruhnya. Sebagai ibaratnya sekejap pun tak boleh lupa.
Lahiriah kau landasilah dengan pengetahuan empat hal. Semuanya tanggapilah
secara sama. Sedangkan kelimanya adalah dapat tersimpan dengan baik, berguna
dimana saja! Artinya mati di dalam hidup. Atau sama dengan hidup di dalam mati.
Ialah hidup abadi. Yang mati itu nafsunya. Lahiriah badan yang menjalani mati.
Tertimpa pada jasad yang sebenarnya. Kenyataannya satu wujud. Raga sukma, sukma
muksa. Jelasnya mengalami kematian! Syekh Malaya, terimalah hal ini sebagai
ajaranku dengan senang hatimu! Anugrah berupa wahyu akan datang kepadamu.
Seperti bulan yang diterangi cahaya temaram. Bukankah turunnya wahyu
meninggalkan kotoran? Bersih bening, hilang kotorannya”. Kemudian
Kanjeng Nabi Khaidir berkata dengan lembut dan tersenyum. “Tak ada yang dituju,
semua sudah tercakup haknya. Tidak ada yang diharapkan dengan keprawiraan,
kesaktian semuanya sudah berlalu. Toh semuanya itu alat peperangan”.
Habislah
sudah wejangan Kanjeng Nabi Khaidir. Syekh Malaya merasa sungkan sekali di
dalam hati. Mawas diri ke dalam dirinya sendiri. Kehendak hati rasanya sudah mendapat
petunjuk yang cukup. Rasa batinya menjelajah jagad raya tanpa sayap. Keseluruh
jagad raya, jasadnya sudah terkendali. Menguasai hakekat semua ilmu. Misalnya
bunga yang masih lama kuncup, sekarang sudah mekar berkembang dan baunya
semerbak mewangi. Karena sudah mendapat San Pancaretna, kemudian Sunan
Kalijaga disuruh keluar dari raga Kanjeng Nabi Khaidir kembali ke alamnya
semula”. Lalu
Kanjeng Nabi Khaidir berkata, “He..y, Malaya, kau sudah diterima Hyang Sukma.
Berhasil menyebarkan aroma Kasturi yang sebenarnya. Dan rasa yang memanaskan
hatimu pun lenyap. Sudah menjelajahi seluruh permukaan bumi. Artinya godaan
hati ialah rasa qonaah yang semakin dimantapkan. Ibarat memakai pakaian sutra
yang indah. Selalu mawas diri. Semua tingkah laku yang halus. Diserapkan
kedalam jiwa, dirawat seperti emas. Dihiasi dengan keselamatan, dan dipajang
seperti permata, agar mengetahui akan kemauan berbagai tingkah laku manusia.
Perhaluslah budi pekertimu atau akhlak ini! Warna hati kita yang sedang mekar
baik, sering dinamakan Kasturi Jati. Sebagai pertanda bahwa kita tidak
mudah goyah, terhadap gerak-gerik, sikap hati yang ingin menggapai sesuatu
tanpa ilmu, ingin mendalami tentang ruh itu justru keliru. Lagi pula secara
penataan, kita itu ibaratnya busana yang dipakai sebagai kerudung. Sedangkan
yang ikat kepala sebagai sarungmu. Kemudian terlibat ingatan ketika dulu.
Ibarat mendalami mati ketika berada di dalam rongga ragaku. Tampak oleh
Sunan Kalijaga cahaya. Yang warnanya merah dan kuning itu, sebagai hambatan yang
menghadang agar gagal usaha atau ikhtiar atau cita-citanya. Dan yang putih di
tengah itulah yang sebenarnya harus diikuti. Kelimanya harus tetap diwaspadai.
Kuasailah seketika jangan sampai lupa! Bisa dipercaya sifatnya. Berkat
kesediaanku berbuat sebagai penyekat. Untuk alat pembebas sifat berbangga diri.
Yang selalu didambakan siang dan malam.
Jangan
engkau menjadi pemuka agama yang ternyata salah dalam penafsiran. Dan
penyampaian keterangannya? kau sudah benar, tak tahunya malah mematikan
pengertian yang benar. Akibatnya terperosok dalam penerapannya. Jangan pula
menjadi pemuka agama yang ibaratnya menjadi murung, hanya sekedar mencari
tempat bertengger saja, pada batang kayu yang baik rimbun, lebat buahnya, kuat
batangnya, untuk kemuliaan hidup baru akhirnya di masyarakatkan. Ibaratnya
seperti sekedar memperoleh kemuliaan sepele. Jadinya tersesat-sesat. malah
memiliki jalan terpaksa.
Jangan engkau menumpuk kekayaan harta dan istri banyak, memilih jalan
menguasai putranya. Putra yang bakal menguasai hak asasi orang per orang.
Berkeinginan mendapatkan yang serba lebih di dalam memiliki. Kalau demikian
halnya, menurut pendapatku, belumlah engkau disebut pemuka agama yang berserah
diri sepenuhnya kepada Allah Tuhan Robbil Alamin, tapi masih berkeinginan pribadi
atau berambisi. Agar semua itu menjunjung harkat dan martabat. Tatanan yang
tidak pasti, belum bisa disebut manusia utama. Yang demikian itu menurut
anggapanmu dan perasaanmu mendapatkan kebahagiaan, kekayaan dan mengerti hak
yang benar. Bila kemudian tertimpa kedudukan, terlanjur terbiasa. Memilih jalan
sembarang tempat, tanpa mengahasilkan jerih payahnya dan tanpa hasil, dalam
arti mengalami kegagalan total. Setidak-tidaknya menimbulkan kecurigaan.
Itulah kebiasaan ketika hidup didunia, ketika menghadapi datangnya maut,
disitulah biasanya tidak kuat menerima ajal. Merasa berat meninggalkan
kehidupan dunia yang tersangkal, masih lekat sekali pada kehidupan duniawi.
Begitulah beratnya mencari kemuliaan, tidak boleh merasa terlekat kepada
anak-istri, pada saat-saat nanti menghadap ajatnya salah menjawab pertanyaannya
bumi, lebih baik jangan jadi manusia! Kalau matinya tanpa pertanggung jawaba,
kau sudah merasa hatimu benar, akan hidup abadi tanpa hisab, tubuh bumi itu
keterdiamannya tidak membantu, kesepiannya tidak mencair. Tidak mempedulikan
pembicaraan orang lain yang ditujukan kepadamu, bagaimana hilang dan mati
bersama raganmu ialah diidamkanmu, sehingga mempertinggi amalanmu, untuk
mengejar keberhasilan. Tapi sayang tanpa petunjuk Allah Tuhan Robbil Alamin,
apalagi hanya zikir semata, tidak disertai dukungan ilmu. Tapi yang perlu
diingat bermula dari ingat pada saat awal mulanya. Semua yang tergelar ini
berasal dari tiada. Manusia diciptakan lebih dari makhluk yang lain. Bukankah
itu yang disebut rahasia atau rahsa? Manusia itu tidak paling mulia daripada
ciptaan yang lain. Maka dari itu janganlah mudah terpengaruh oleh buah pikirmu
yang bulat. Bulat atas segala gerak dan kehendak. Adapun isi jagad itu jangan
mengira hanya manusia saja, tapi berisi segala macam titah. Hanya saja manusia
itu satu. Penguasanya satu yang menghidupi jagad seisinya. Demikianlah tekad
yang sempurna. Hei Syekh Malaya segeralah menyudahi! Kembalilah kau ke pulau
Jawa! Bukankah sebenarnya kau mencari dirimu juga?. Syekh Malaya bergegas.
Bersembah dan berkata dengan berbelas kasih untuk memenuhinya, yang disebut Kalingga
Murda,”Hamba setia dan taat”. Kanjeng Nabi Khaidir lalu musnah dan lenyap.
Syekh malaya tampak berdoa di samudera. Tapi tidak tersentuh air. Syekh Malaya
sangat berjanji dalam hati atas peringatan atau ajaran sang guru yang sempurna.
ia masih sangat ingat? Hasrat hati yang telah memiliki atau mengetahui ilmu kawekas.
Isinya jagad telah terkuasai dalam hati, merasa mantap dan disimpan dalam
ingatan. Sehingga serba mengetahui dan tak akan keliru lagi. Diresapi dalam
jiwa dan dijunjung sampai mati. Ia telah lulus dari sumber aroma kasturi yang
sebenarnya. Sehingga sifat panasnya hati lenyap. Sesudah itu Syekh Malaya
kondur (pulang). Hatinya sudah tidak goyah lagi karena segala ajaran itu tampak
jelas dalam hati. Ia tidak salah lagi melihat dirinya siapa sebenarnya.
Penjelmaan jiwanya menyatu dalam satu wujud. Walau secara lahiriah
dirahasiakan. Norma atau prilaku tata cara jiwa kesatria, berhasil dikuasai.
Bukankah ia sudah menggunakan mata batinnya yang tajam atau peka? Ibarat hewan
dengan bebannya! Sudah tak ada atau terjadi, kematian dalam kehidupan. Setelah
bagaimana ia menerima ajaran gurunya. Sama sekali tidak diragukan lagi. Seluruh
ajaran gurunya sudah tamat dan di kuasai dengan tersimpan dalam hati, serta
diimankan dengan cermat. Mematuhi semua ajaran guru. Perbuatan, pikiran dan
rasa bukankah diuji dalam hati yang suci dan bening? Benar-benar terasa sebagai
anugrah Tuhan. Sesungguhnya sang guru benar-benar sudah hilang raganya, sudah
tidak ada. Akan tetapi selalu terbayang dalam hatinya. Dan sudah ditetapkan
sebagai kekasihnya. Adapun segala ketercelaan hati sudah lenyap. Rasanya
tenanglah dunia dan akhirat. Karena kebersihan dan kesucian jiwa sudah
diketemukan. Sukma suci dalam segala tingkah lakunya itu memahami
sepaham-pahamnya, memahaminya lewat petunjuk? Sehingga tidak takut akan
kematian yang sering timbul dalam buah pikiran? Ia sudah mengharapkan bahwa
raganya akan ikhlas kalau kematian yang mulia. Yang diridhai oleh Allah Tuhan
Robbil Alamin atau Sang Hyang Widi. Namun sebenarnya tidak ada tanggapan
perasaan. Yaitu rasa seperti itu. Tiadanya pandang atau wawasan seperti itu.
Bukankah sudah lenyap semuanya. Tinggal jiwa suci yang terpuji mulia? Mulia seperti
zaman dahulu atau awalnya. Tidak meragukan kematian yang sebenarnya. Yang
menjemput maut setiap saat. Tidak merasakan akan kematiannya. Toh yang rusak
itu nafsu dan badan, jiwa hidup abadi dan aman sejahtera. Senang, mulia dan
merdeka, semuanya itu sudah diterapkan dalam hati. Sehingga berpegang pada
kuasa-Nya. Sudah mengetahui akan makna kematian yang sebenarnya, ia tidak
merasa takut kapanpun maut menjemput. Yang sempurna ialah sudah aman,
sejahtera, mulia, itulah makna yang sempurna. Yaitu tidak meninggalkan hak-Nya.
Ketujuh alam sudah lenyap. Bukankah lenyapnya alam ini sudah jelas? Kini yang
lain ibarat kau sajalah! Penguasa alam bukankah sudah kita ketahui? Yang
bernama Abirawa yang artinya berkuasa dan berkehendak. Adapun alam yang
keenam artinya ialah yang telah lenyap : timur, barat, utara, selatan, atas,
bawah serta kayu dan batu dan diri sendiri. Bila kita telah mati yang ada hanya
kosong dan sepi. Yang terdengar hanya deru angin, debur air dan kobaran api di
alam dahana. Matahari, bulan, bukankah termasuk alam juga? Dua puluh tiga alam
yang serba nafsu itu, semuanya habis belaka, bukankah sama dahulunya? Syekh
Malaya sudah memahami hal itu semua? Kalau itu semua adalah alam serba nafsu.
Dan alam yang sebenar-benarnya sudah jelas yaitu penguasa alam semua. Sedang
penyelarasnya hanyalah alam anbiyak ini. Alam anbiyak itu baunya harum dan
mewangi yang menyelaraskan alam. Menjadi terang dan mulia semua. Dan alam itu
berarti tempat jiwa suci, terang, bersih. Itulah alam malakut. Artinya ialah
sudah tiba menjelang alam kemuliaan. Ibarat ruangan, sekat sebagai pemisah.
Adapun alam anbiyak ialah alam mulia yang masih akan digapai. Sifat hidup
itulah kehidupannya. Tentang mana mirah mana intan. Sudah jelas nilai dari Kumala
Adi. Yaitu sebagus-bagusnya warna dari intan itu sendiri. Lenyapnya
bukankah sama dengan lainnya? Itulah alam anbiya.
Alang
Alang Kumitir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar