Sabtu, 05 Oktober 2013

IMAN, ISLAM Dan INSAN KAMIL Part04


''IMAN HIDAYAH''
Sukma luhur atau ruh berderajat tinggi


          Sunan Kalijaga mendapat gelar agung sebagai guru suci Tanah Jawi. Singkat cerita, Raden Mas Sahid putra kanjeng Adipati Tuban, sudah menjadi alim ulama yang cerdik dan pandai.


Syekh Malaya 
(Sunakali Jaga)

Bahkan beliau sudah dapat merasakan mati di dalam hidup. Tingkatan pendakian tauhid yang sangat tinggi, dan patut diacungi jempol. Namun beliau belum puas dengan apa yang sudah didapat. Dia mempunyai himatulaliyyah atau cita-cita yang tinggi yaitu bertujuan ingin memperoleh petunjuk diri seseorang yang sudah menemukan hakikat kehidupan, yang nantinya dapat mengantarkanya agar mendapat petunjuk yang dipegang para Nabi Wali atau Imam Hidayah.
Tekadnya semakin membaja, menyebabkan beliu melakukan perjalanan hidup yang tidak memperdulikan dampak atau akibat apapun yang akan terjadi, nafsunya menuntut ilmu semakin membara tak perduli samudra api menghadang.
Rasulullah bersabda, : “Tuntutlah ilmu biarpun harus menyeberang samudra api!”.
Raden Mas Sahid hatinya bimbang dan pikirannya bingung. Siapa yang tidak bingung! Segala ilmu yang diketahui dan dipahami diamalkan dengan penuh pengabdian kepada Allah Tuhan Robbil Alamin, namun beliu merasa selalu tergoda oleh nafsunya, dan merasa tidak mampu mengatasinya. Berbagai usaha ditempuhnya agar akhir hidupnya mampu mengatasi nafsunya, jangan sampai terlanjur terlantur, hanya puas makan dan tidur. Namun tetap saja dirinya merasa hatinya kalah perang dengan nafsunya. Akhirnya beliu pasrah kepada Allah Tuhan Robbil Alamin tempat berserah diri.
Raden Mas Sahid memohon kepada Allah Tuhan Robbil Alamin, semoga dibukakan oleh Allah Tuhan Robbil Alamin, agar istiqomah hatinya, selaras dengan kehendak hatinya, jalan menuju sembah dan puji. Dan tiada putus-putusnya dia berdoa, biarpun terselip kekhawatiran dosa dan kekhilafan yang pernah dilakukannya semasa muda, mungkin tak termaafkan oleh Allah Tuhan Robbil Alamin. Sekian lama beliu berdoa, namun tak ada tanda-tanda terkabulnya doa. Akhirnya beliu mawas diri. Mengapa petunjuk yang ditunggu-tunggu belum juga datang? Apakah cara beribadahnya dan bersyukur yang salah? Apakah yang dilakukan selama ini acak-acakan tanpa dasar ilmu yaqin?
Akhirnya Raden Mas Sahid diam tak mau berdoa lagi. Beliu menyendiri dan menjauhi urusan duniawi (uzlah). Buah dari laku ini, dirasanya masih saja ada gejolak batin, saling bertengkar dua sura dalam batinnya sendiri, bisikan Malaikat dan bisikan Syaitan. Pertentangan suaranya tidak lantang sebagaimana layaknya orang bertengkar, tetapi pertengkaran hebat itu tidak kunjung berhenti! Bukankah bisikan baik dan buruk saling merebut kemenangan? Apa sih yang diperebutkan? Padahal tidak ada yang diperebutkan! Perang batin ini, kalau diibaratkan seperti perebutan Kerajaan Ngastina oleh Kurawa dan Pandawa yang masih termasuk keluarga sendiri atau darah daging sendiri!
Raden Mas Sahid menyadari laku uzlah yang dijalankannya tak menghasilkan petunjuk yang diharapkan. Akhirnya tanpa malu-malu, karena didesak oleh hasrat mengetahui petunjuk, beliu berusaha tapa berlapar-lapar, kalau ada teman datang, ikut makan dengan rakusnya, kalau temannya pergi tidak makan seumur hidupnya, sebab tidak ada yang dimakan. menuruti kesenangan memperindah diri, selalu meminta upah. Raden Mas Sahid meminta upah dari laku tapa berlapar-lapar ternyata tiada hasil. Beliu akhirnya menyadari kebodohannya dan tersenyum sendiri. Mengapa sampai teganya Dia menagih tak henti-hentinya kepada Allah Tuhan Robbil Alamin, padahal tanpa piutang? Allah Tuhan Robbil Alamin yang ditagih wajar kalau diam saja, memang kenyataanya tidak berhutang! Biarpun yang menagih datang dan pergi, semua itu tidak ada bedanya, dan Allah Tuhan Robbil Alamin Yang Maha Kaya berhak tidak melunasi karena tidak pernah berhutang kepada Raden Mas Sahid. Akhirnya beliu memutuskan diri untuk berguru dengan Kanjeng Sunan Bonang, barangkali dengan itu, beliu dapat petunjuk iman hidayah.
Mulailah Raden Mas Sahid berguru kepada seseorang yang tinggi ilmunya yang bersunyi diri di desa Bonang yang bergelar Kanjeng Sunan Bonang. Beliu mohon kepada Kanjeng Sunan Bonang untuk ditunjukkan hakikat kehidupan. Syekh Malaya disaat mulai berguru kepada Kanjeng Sunan Bonang diperintah tapa  (mensucikan diri) menunggu pohon gurda dan dilarang meninggalkan tempat.
Syekh Malaya dapat dikatakan orang hebat, karena keinginanya yang kuat serta tekad batinnya, tak dapat dibandingkan dengan yang lainnya. Maklumlah beliu berdarah luhur, putra Kanjeng Adipati Tuban Wilwatikta II bernama Raden Mas Sahid, waktu tua bergelar Sunan Kalijaga. Rupanya sudah terlebih dahulu mendapat anugrah Kasih Sayang Allah Tuhan Robbil Alamin yang sudah menjadi kemulian Tuhan, timbul dari kasih Sayang Allah Tuhan Robbil Alamin. Syekh Malaya berguru menuntut ilmu sudah cukup lama, namun merasa belum dapat manfaat yang nyata, rasanya cuma penderitaan yang didapat, sebab disuruh memperbanyak tapa (mensucikan diri), oleh Kanjeng Sunan Bonang, diperintah “menunggui pohon gurda” yang berada ditengah hutan belantara dan tidak boleh meninggalkan tempat, sudah dilaksanakan selama setahun.
Laku tapa (mensucikan diri) yang kedua, disuruh “ngaluwat” yaitu ditanam di tengah hutan di dalam goa Sorowiti Panceng Tuban. Setelah setahun mulut gua yang mulanya ditutup dengan batu-batu, kemudia dibongkar oleh Kanjeng Sunan Bonang. Kemudian laku tapa yang ketiga, yaitu “tarak brata di tepi sungai” selama setahun, dan tidak boleh tidur ataupun makan, lalu ditinggal menuju Mekah oleh Kanjeng Sunan Bonang.
Nyatanya sudah genap setahun, Syekh Malaya ditengok, ditemui masih tarak brata saja, Kanjeng Sunan bonang bersabda, “wahai siswaku sudahilah tarak bratamu, kamu mulai sekarang sudah menjadi Wali dan bergelar Sunan Kalijaga. Kamu diangkat sebagai wali Sembilan penutup maksudnya melengkapi Wali Songo atau Wali Sembilan yang saat itu jumlah kurang satu wali. Tugasmu ikut menyiarkan agama Islam dan perbaikilah ketidak aturan yang ada. Agama itu toto kromo, kesopanan untuk Kemuliaan Tuhan Yang Maha Mengetahui. Kau harus berpegang pada syariat Islam, serta segala ketentuan iman hidayah. Hidayah itu dari Allah Tuhan Robbil Alamin Yang Maha Agung, yang sangat besar kanugrahan-Nya menumbuhkan kekuatan luar biasa dan keberanian, serta meliputi segala kebutuhan perang, yang demian itu tidak lain adalah anugrah yang besar, paling utama dari segala yang utama. Keutamaan itu ibarat bayi, siapapun ingin memeliharanya, mencukupinya, menguasai pula terhadap dirinya, tapi kita tak punya hak menentukan, karena kita ini juga yang menentukan Allah Tuhan Robbil Alamin Yang Maha Agung, karena itu mantapkanlah hatimu dalam pasrah diri pada-Nya”.
Syekh Malaya berkata lemah lembut kepada Kanjeng Sunan Bonang, “sungguh hamba sangat bermatur nuwun, semua nasihat akan kami junjung tinggi, tapi hamba mohon pada guru, agar sekalian dijelaskan, tentang maksud sebenarnya dari sukma luhur atau ruh yang berderajat tinggi, yang sering disebut iman hidayah. Hamba harus mantap berserah diri kepada Allah Tuhan Robbil Alamin, bagaimanakah cara melaksanakan dengan sebenar-benarnya? Hamba mohon penjelasan yang sejelas-jelasnya. Kalau hanya sekedar ucapan semata hamba pun mampu mengucapkannya. Hamba takut kalau menemui kesalahan dalam berserah diri, karena menjadikan hamba ibarat asap belaka, tanpa guna menjalankan semua yang kukerjakan.
Kanjeng Sunan Bonang menjawab lembut, “Syekh Malaya benar ucapanmu, pada saat tapa kau bertemu denganku, yang dimaksud berserah diri ialah selalu ingat perilaku atau pekerjaan, seperti ketika awal mula diciptakan, bukankah itu sama halnya seperti asap? Itu tadi seperti hidayah wening atau petunjuk yang jernih, serupa dengan iman hidayah, apakah itu nampak dengan sebenarnya? Namun ketahuilah semua tidak dapat diduga sebelum mempunyai kepandaian untuk meraihnya, kejelasan tentang hidayah, hanya keterangan yang saya percayai, karena keterangan itu berasal dari sabda Allah Tuhan Robbil Alamin”.
Berkata Kanjeng Sunan Kalijaga, “ Kanjeng Rama Guru yang bijaksana, hamba mohon dijelaskan, apakah maksudnya, ada nama tanpa sifat, ada sifat tanpa nama? Saya mohon petunjuk, tinggal itu yang saya tanyakan yang terakhir kali ini saja”. Kanjeng Sunan Bonang bersabda lemah lembut, “Kalau kamu ingin keterangan yang jelas tuntas, matikanlah dirimu sendiri, belajarlah kamu tentang mati, selagi kau masih hidup. Caranya bersepi dirilah kamu ke hutan rimba, dan jangan sampai ketahuan manusia”.
Sudah habis segala penjelasan yang disampaikan Kanjeng Sunan Bonang lalu meninggalkan tempat, dari hadapan Sunan Kalijaga, timur laut arah langkah yang dituju. Kira-kira baru beberapa langkah berlalu, Syekh Malaya ikut meninggalkan tempat itu, masuk kehutan belantara.
Raden Mas Sahid menjalankan laku kijang, berbaur dengan kijang menjangan, segala gerak laku kijang ditirunya, kecuali bila ingin tidur, ia mengikuti cara tidur berbalik, tidak seperti tidurnya kijang. Kalau pergi mencari makan mengikuti seperti caranya anak kijang. Bila ada manusia yang mengetahui, para kijang berlari tunggal langgang, Sunan Kalijaga juga ikut berlari kencang jangan sampai ketahuan manusia. Larinya dengan merangkak, seperti larinya kijang, pontang panting jangan sampai ketinggalan, mengikuti sepak terjang kijang.
Nyata sudah cukup setahun, Syekh Malaya menjalani laku kijang, bahkan melebihi yang telah ditetapkan, ketika itu Kanjeng Sunan Bonang, bermaksud sholat menuju Mekah, dalam sekejap mata sudah sampai, setelah sholat segera datang kembali. Kanjeng Sunan Bonang menuju hutan untuk memberi tahu Syekh Malaya bahwa laku kijangnya telah selesai. Sesampai di dalam hutan ia melihat kijang berlari, sedang anaknya sempoyongan mengikuti. Sunan Bonang ingat dalam hati, kalau Wali Syekh Malaya berlaku seperti anak kijang, segera ia mendekati gerombolan kijang, barangkali di sana ditemukan Syekh Malaya.
Syekh Malaya yang kebetulan sedang berlaku meniru kijang tahu akan didekati gurunya. Beliu ingat pesan gurunya, bahwa dirinya tidak boleh diketahui manusia, gurunya juga manusia maka ia harus menghidari jangan sampai didekati manusia biarpun gurunya, larinya tunggang langgang, tanpa memperhitungkan jurang tebing, ditubruk tidak tertangkap, dijaring dan diberi jerat, kalau kena jerat dapat lolos, kalau kena jaring dapat melompat.
Marahlah sang guru Kanjeng Sunan Bonang, bersumpah dalam hatinya, “Wali wadat pun aku tak peduli, memanaskan hati kau kijang, bagiku memegang angin yang lebih lembut saja tidak penar lolos, yang kasar akan lebih mudah ditangkap mustahil akan gagal!”.
Kanjeng Sunan Bonang bergerak dengan sigap. Beliu berusaha menciptakan nasi tiga kepal atau genggam. Dalam sekejap tangannya telah siap nasi 3 genggam, segera ia mundur ancang-ancang siap mengejar Kijang Syekh Malaya untuk melemparkanya. Kanjeng Sunan Bonang segera menerobos ke dalam hutan yang lebih lebat dan sulit dilewati, setelah benar-benar menemukan yang sedang laku kijang, tengah berlari. Segera dilemparnya dengan nasi satu kepal, tepat mengenai punggungnya.
Syekh Malaya agak lambat larinya terkena lemparan nasi sekepal. Lalu lemparan yang kedua, mengenai lambungnya, jatuh terduduk Syekh Malaya kemudian dilempar lagi, nasi satu kepal, Syekh Malaya ingat dan sadar kemudia berbakti pada Kanjeng Sunan Bonang.
Syekh Malaya berlutut hormat mencium kaki Kanjeng Sunan Bonang. Berkata sang guru Kangjeng Sunan Bonang “Anakku ketahuilah olehmu, bila kau ingin mendapat kepandaian, yang bersifat hidayatullah, naiklah haji, menuju Mekah dengan hati tulus suci dan ikhlas. Ambillah air zam-zam menuju Mekah, itu adalah air yang suci, serta sekaligus mengaharapkan berkah syafaat, Kanjeng Nabi Muhammad yang menjadi suri tauladan manusia”. Syekh Malaya berbakti, mencium kaki gurunya dan mohon diri untuk melaksanakan tugas yaitu segera menuju Mekah. Kanjeng Sunan Bonang lebih dahulu melangkahkan kaki menuju desa Bonang Tuban yang sepi.
Syekh Malaya menerobos hutan, naik gunung, turun jurang, tetebingan di dakinya memutar, melintasi jurang dan tanjakan. Tanpa terasa perjalanannya telah sampai di tepi pantai. Hatinya bingung, kesulitan menempuh jalan selanjutnya karena terhalang oleh samudera luas, sejauh memandang tampak air semata. Dia diam tercenung lama sekali di tepi samudera memutar otak mencari jalan yang sebaiknya ditempuh.
Singkat cerita tersebutlah seorang manusia, yang bernama Sang Mahyuningrat, mengetahui kedatangan seorang yang tengah bingung yaitu Syekh Malaya. Sang Mahyuningrat tahu segala perjalanan yang dialami oleh Syekh Malaya dengan sejuta keprihatinan karena ingin meraih iman hidayah. Berbagai cara telah ditempuh, juga melalui penghayatan kejiwaan dan berusaha mengungkap berbagai rahasia yang tersembunyi, namun mustahil dapat menemukan hidayah, kecuali mendapatkan kanugrahan Allah Tuhan Robbil Alamin yang haq.
Syekh Malaya ternyata sudah terjun merenangi samudra luas, dan tidak mempedulikan nasib jiwanya sendiri. Semakin lama Syekh Malaya sudah hampir sampai tengah samudra, mengikuti jalan untuk mencapai hakikat yang tertinggi dari Allah Tuhan Robbil Alamin, tidak lama, sampailah di tengah samudra. Beliu kehabisan tenaga untuk merenangi samudra menuju Mekah. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada berusaha mempertahankan diri jangan sampai tenggelam di dasar laut. Yang tampak kini. Syekh Malaya timbul-tenggelam di permukaan laut berjuang menyelamatkan nyawanya. Disaat Syekh Malaya dalam keadaan yang kritis itu berjuang antara hidup dan mati, tiba-tiba penglihatannya melihat seseorang yang sedang berjalan di atas air dengan tenangnya, yang tidak dari mana datangnya. Seketika itu pula, tahu-tahu Syekh Malaya sudah dapat duduk tenang diatas air. Orang yang mendekati Syekh Malaya tidak lain adalah Kanjeng Nabi Khaidir yang menyapa Syekh Malaya dengan lemah lembut, “Syekh Malaya apakah tujuanmu mendatangi tempat ini? Apakah yang kau harapkan? Ketahuilah di sini tidak ada apa-apa! Tidak ada yang ditemubuktikan, apalagi untuk dimakan dan berpakaian pun tidak ada. Yang ada hanyalah daun kering yang tertiup yang jatuh di depanku, itu yang saya makan, kalau tidak ada tentu tidak makan. Senangkah kamu melihat kenyataan semua itu?”. Syekh Malaya heran mengetahui penjelasan ini. Kanjeng Nabi Khaidir berkata lagi kepada Syekh Malaya, “Cucuku, di sini ini banyak bahayanya, kalau tidak mati-matian berani bertaruh nyawa, tentu tidak mungkin sampai di sini. Di tempat ini segalanya tidak ada yang dapat diharapkan hasilnya. Mengandalkan pikiranmu saja belum apa-apa, biarpun kamu tidak takut mati. Kutegaskan sekali lagi, di sini kau tidak mungking mendapat apa yang kau maksudkan!”.
Syekh Malaya bingung tidak tahu apa yang harus diperbuat, dia menjawab pertanyaan Kanjeng Nabi Khaidir, bahwa dia tidak mengetahui akan langkah yang sebaiknya perlu ditempuh setelah ini. Tidak tahu apa yang akan dilakukannya kemudian! “Syekh Malaya pasrah diri kepada Kanjeng Nabi Khaidir , katanya terasa memilukan”. Sang guru Kanjeng Nabi Khaidir menebak, “Apakah kamu juga sangat mengharapkan hidayatullah Allah Tuhan Robbil Alamin?”.
Akhirnya Kanjeng Nabi Khaidir menjelaskan, “ikutilah petunjukku sekarang ini!” “Kamu telah berusaha menjalankan petunjuk gurumu kanjeng Sunan Bonang yang menyuruhmu menuju kota Mekah, dengan keperluan melaksanakan Haji. Maka ketahuilah olehmu, makna tugas itu yaitu : sungguh sulit menjalankan lika-liku kehidupan ini”. “Jangan pergi kalau belum tahu yang kau tuju dan jangan makan kalau belum tahu rasanya yang dimakan, jangan berpakaian kalau belum tahu kegunaan berpakaian. Lebih jelasnya tanyalah sesama manusia sekaligus dengan persamaannya, kalau sudah jelas amalkanlah!”.
“Demikianlah seharusnya hidup itu, ibarat ada orang dari gunung(desa), akan membeli emas, oleh tukang emas biarpun diberi kuningan tetap dianggap emas mulia. Demikianlah pula dengan orang berbakti, bila belum yakin benar, pada siapakah yang harus disembah?” Syekh Malaya ketika mendengar itu, spontan duduk berlutut mohon belas kasihan, setelah mendapati kenyataan Kanjeng Nabi Khaidir betul-betul serba tahu yang tersimpan di hatinya. Dengan duduk bersila dia berkata, “Yang kami dengar akan kami laksanakan apa pun jadinya nanti. “Syekh Malaya meminta kasih sayang, memohon keterangan yang jelas’, siapakah nama tuan? Mengapa di sini sendirian? Sang Mahyuningrat menjawab, “sesungguhnya saya ini Kanjeng Nabi Khaidir”. Syekh Malaya berkata, “saya menghaturkan hormat sedalam-dalamnya kepada tuan junjunganku dan mohon petunjuk serta perlu dikasihani, saya juga tidak tahu benar tidaknya pengabdianku ini. Tidak lebih bedanya dengan hewan di hutan, itupun masih tidak seberapa, bila mau menyelidiki kesucian diriku ini. Dapat dikatakan lebih bodoh dan dungu serta tercela ibarat keris tanpa kerangka dan ibarat bacaan tanpa isi tersirat”. Maka berkata dengan lembutnya Sang Kanjeng Nabi Khaidir kepada Syekh Malaya. “Jika kamu berkehendak melaksanakan Haji menuju Mekah, kamu harus tahu tujuan yang sebenarnya menuju Mekah itu.
Ketahuilah Mekah itu hanya tapak tilas saja! Yaitu bekas tempat tinggal Nabi Ibrahim zaman dahulu. Beliulah yang membangun Ka’bah Masjidil Haram serta yang menghiasi Ka’bah itu dengan benda yang berupa batu hitam (Hajar Aswad) yang tergantung didinding Ka’bah tanpa digantungkan. Apakah Ka’bah itu yang hendak kamu sembah? Kalau itu yang menjadi niatmu, berarti kamu sama halnya menyembah berhala atau bangunan yang dibuat dari batu. Perbuatanmu itu tidak jauh berbeda dengan yang diperbuat oleh orang kafir, karena hanya sekedar menduga-duga saja wujud Allah Tuhan Robbil Alamin yang disembah, dengan senantiasa menghadap kepada berhala. Oleh karenanya itu, biarpun kamu sudah melaksanakan Haji, bila belum tahu tujuan yang sebenernya dari ibadah Haji tentu kamu akan rugi besar. Alquran menjelaskan : “aki mis sholata li zikri”artinya “dirikanlah sholat untuk mengingat Allah”. Menuju Mekah perintah gurumu itu dimaksudkan : menuju Allah Tuhan Robbil Alamin taklain tak bukan menegakan sholat, diperintahkan juga mengambil air Zam-Zam bersuci dari hadas kecil-(mengambil air wudu’), maka dari itu engkau harus memahaminya, hakekat sholat tersebut sebelum engkau melaksanakannya. Kakekat sholat itu : “berdiri menyaksikan diri sendiri, kita bersaksi dengan diri kita sendiri bahwa tiada yang nyata pada diri kita hanya diri bhatin kita-(Allah) dan diri zohir kita-(Muhammad) yang membawa dan menanggung rahasia Allah Tuhan Robbil Alamin”, Ketahuilah Mekah itu hanya tapak tilas saja! Yaitu bekas tempat tinggal Nabi Ibrahim zaman dahulu. Beliulah yang membangun Ka’bah Masjidil Haram serta yang menghiasi Ka’bah itu dengan benda yang berupa batu hitam (Hajar Aswad) yang tergantung didinding Ka’bah tanpa digantungkan. Apakah Ka’bah itu yang hendak kamu sembah? Kalau itu yang menjadi niatmu, berarti kamu sama halnya menyembah berhala atau bangunan yang dibuat dari batu. Perbuatanmu itu tidak jauh berbeda dengan yang diperbuat oleh orang kafir, karena hanya sekedar menduga-duga saja wujud Allah Tuhan Robbil Alamin yang disembah, dengan senantiasa menghadap kepada berhala. Oleh karenanya itu, biarpun kamu sudah melaksanakan Haji, bila belum tahu tujuan yang sebenernya dari ibadah Haji tentu kamu akan rugi besar. Alquran menjelaskan : “Aki mis sholata li zikri-(QS. Taha : 145)”. artinya “dirikanlah sholat untuk mengingat Allah”. Menuju Mekah perintah gurumu itu dimaksudkan : menuju Allah Tuhan Robbil Alamin taklain tak bukan menegakan sholat, diperintahkan juga mengambil air Zam-Zam bersuci dari hadas kecil-(mengambil air wudu’), maka dari itu engkau harus memahaminya, hakekat sholat tersebut sebelum engkau melaksanakannya. Kakekat sholat itu : “berdiri menyaksikan diri sendiri, kita bersaksi dengan diri kita sendiri bahwa tiada yang nyata pada diri kita hanya diri bhatin kita-(Allah) dan diri zohir kita-(Muhammad) yang membawa dan menanggung rahasia Allah Tuhan Robbil Alamin”, sempurnanya roh diri Rahasia Allah itu dimasukkan kedalam tubuh Adam as, Adam as pun berusaha berdiri sambil menyaksikan keindahan tubuhnya dan berkata : Allahu Akbar (Allah Maha Besar), Peristiwa ini merupakan tajali (perpindahan) diri rahasia Allah sehingga dapat di tanggung oleh manusia dengan 4 perkara yaitu : Wujud, Ilmu, Nur dan Syahadat. Jadi sembahyang itu bukan sekali-kali berarti : Menyembah, tapi suatu istiadat penyaksian diri sendiri dan sesungguhnya tiada diri kita itu adalah diri Allah semata. Kita menyaksikan bahwa diri kitalah yang membawa dan menanggung rahasia Allah SWT. Dan tiada sesuatu pada diri kita hanya rahasia Allah semata serta tiada sesuatu yang kita punya : kecuali Hak Allah semata. Maka dari itu, ketahuilah bahwa Ka’bah yang sedang kau tuju itu, bukannya yang terbuat dari tanah atau kayu apalagi batu, tetapi Ka’bah yang hendak kau kunjungi itu sebenarnya Ka’bahtullah (Ka’bah Allah Tuhan Robbil Alamin). Demikian itu sesunggunya iman hidayah yang harus kamu yakinkan dalam hati”. Maka dari itu, ketahuilah bahwa Ka’bah yang sedang kau tuju itu, bukannya yang terbuat dari tanah atau kayu apalagi batu, tetapi Ka’bah yang hendak kau kunjungi itu sebenarnya Ka’bahtullah (Ka’bah Allah Tuhan Robbil Alamin). Demikian itu sesunggunya iman hidayah yang harus kamu yakinkan dalam hati”.
Kanjeng Nabi Khaidir memerintah, “Syekh Malaya segeralah kemari secepatnya! Masuk ke dalam tubuhku!” Syekh Malaya terhenyak hatinya tak dapat dicegah lagi, keluarlah tawanya, bahkan sampai mengeluarkan air mata seraya berkata lucu. “Melalui jalan manakah harus masuk ke dalam tubuhmu, padahal saya tinggi besar melebihi tubuhmu, kira-kira cukupkah? Melalui jalan manakah usaha saya untuk masuk?, nampak olehku buntu semua?. Kanjeng Nabi Khaidir berkata dengan lemah lembut. “Besarmana kamu dengan bumi, semua ini beserta isinya, hutan rimba dan samudera serta gunung tidak bakal penuh bila dimasukkan kedalam tubuhku, jangan khawatir bila tak cukup masuklah di dalam tubuhku ini. Syekh Malaya setelah mendengarnya semakin takut sekali dan bersedia melaksanakan tugas memasuki badan Kanjeng Nabi Khaidir, namun bingung tak tahu cara melaksanakannya. Menolehlah Kanjeng Nabi Khaidir ini jalan, di telingaku ini”. Syekh Malaya masuk dengan segera melalui telinga Kanjeng Nabi Khaidir. Sesampainya di dalam tubuh Kanjeng Nabi Khaidir, Syekh Malaya melihat samudera luas tiada bertepi sejauh mata memandang, semakin diamati semakin jauh tampaknya. Kanjeng Nabi Khaidir bertanya keras-keras, “hai apa yang kamu lihat?” Syekh Malaya segera menjawab, “Angkasa Raya yang kuamati, kosong melompong jauh tidak kelihatan apa-apa, kemana kakiku melangkah, tidak tahu arah utara selatan barat timur pun tidak kami kenal lagi, bawah dan atas serta muka belakan, tidak mampu saya bedakan. Bahkan semakin membingungkanku”.
Kanjeng Nabi Khaidir berkata lemah-lembut, “usahakan jangan sampai bingung hatimu”. Tiba-tiba Syekh Malaya melihat suasana terang benderang. Dihadapannya nampak Kanjeng Nabi Khaidir, Syekh Malaya melihat Kanjeng Nabi Khaidir malayang di udara kelihatan memancarkan cahaya gemerlapan. Saat itu Syekh Malaya melihat arah utara selatan, barat dan timur sudah kelihatan jelas, atas serta bawah juga sudah terlihat dan mampu menjaring matahari, tenang rasanya sebab melihat Kanjeng Nabi Khaidir, rasanya berada di alam yang lain dari yang lain. Kanjeng Nabi Khaidir berkata lembut, “jangan berjalan hanya sekedar berjalan, lihatlah dengan sungguh-sungguh apa yang terlihat olehmu”. Syekh Malaya menjawad, “Ada warna empat macam yang nampak padaku semua itu sudah tidak kelihatan lagi, hanya empat macam yang kuingat yaitu hitam merah kuning dan putih”. Berkata Kanjeng Nabi Khaidir, “yang pertama kau lihat cahaya mencorong tapi tidak tahu namanya ketahuilah itu adalah pancamaya, yang sebenarnya ada di dalam dirimu sendiri yang mengatur dirimu. Pancamaya yang indah itu disebut mukasyafah, bila mana kamu mampu membingbing dirimu ke dalam sifat terpuji, yaitu sifat yang asli. Maka dari itu jangan asal bertindak, selidikilah semua bentuk jangan sampai tertipu nafsu. Usahakan semaksimal mungkin agar hatimu menduduki sifat asli, perhatikan terus hatimu itu, supaya tetap dalam jati diri!” Tentramlah hati Syekh Malaya, setelah mengerti itu semua dan baru mantap rasa hatinya serta bahagia.
Kanjeng Nabi Khaidir melanjutkan penjelasannya, “adapun yang kuning, merah, hitam serta putih itu adalah penghalanya. Sebab isinya dunia ini sudah lengkap, yaitu terbagi kedalam tiga golongan, semuanya adalah penghalang tingkah laku, kalau mampu menjauhi itu pasti dapat berkumpul dengan ghaib, itulah yang menghalangi meningkatkan citra diri. Hati yang tiga macam yaitu hitam, merah dan kuning, semua itu menghalangi pikiran dan kehendak kita tiada putus-putusnya. Maksudnya akan menghalangi menyatunya hamba dengan Allah Tuhan Robbil Alamin. Jika tidak tercampur oleh tiga hal itu, tentu terjadi hilangnya jiwa, maksudnya orang akan mencapai tingkatan Maqom Fana dan akan masuk Maqom Baqo atau abadi. Senantiasa berdekatan rapat dengan Sang Pencipta-( Allah Tuhan Robbil Alamin). Namun yang perlu diperhatikan dan diingat dengan seksama, bahwa penghalang yang ada dalam hati, mempunyai kelebihan yang perlu kamu ketahui dan sekaligus sumber inti kekuatannya. Yang hitam lebih perkasa, pekerjaanya marah, mudah sakit hati, angkara murka secara membabi buta. Itulah hati yang menghalangi, menutup kepada kebajikan. Sedangkan yang berwarna merah, membawa kepada nafsu yang tidak baik, segala keinginan nafsu keluar dari si merah, mudah emosi dalam mencapai tujuan, hingga menutup kepada hati yang sudah jernih tenang menuju akhir hidup yang baik (khusnul khatimah). Adapun yang berwarna kuning kemampuannya mengahalangi segala hal pikiran yang baik maupun pekerjaan yang baik, yang menghalangi hati timbulnya pikiran yang baik menjadi membuat kerusakan, menelantarkan ke jurang kehancuran. Sedangkan yang putih itulah yang sebenarnya, membuat hati tenang serta suci tanpa ini itu, pahlawan dalam kedamaian”.
Kanjeng Nabi Khaidir memberi kesempatan bagi Syekh Malaya untuk merenungkan penjelasannya tadi. Selanjutnya beliu berkata, “hanya itulah yang dapat dirasakan manusia akan kesaksiannya. Sesungguhnya yang terwujud adanya, hanya menerima anugrah semata-mata dan hanya itulah yang dapat dilaksanakan. Kalau kamu tetap berusaha agar abadi berkumpulnya diri dekat Allah Tuhan Robbil Alamin, maka senantiasalah menghadapi tiga musuh yang sangat kejam, besar dan tinggi hati-(sombong) itu. Ketiga musuhmu saling kerjasama, padahal si putih tanpa teman, hanya sendirian saja, makanya sering dapat dikalahkan. Kalau sekiranya dapat mengatasi akan segala kesukaran yang timbul dari tiga hala itu terjadilah persatuan erat wujud, jika tanpa berpedoman itu semua tidak akan terjadi persatuan eret antara manusia dan Penciptanya-( Allah Tuhan Robbil Alamin)”. Syekh Malaya sudah memahaminya, dengan semangat mulai berusaha disertai tekad membaja demi mendapatkan pedoman akhir kehidupan, demi kesempurnaan dekatnya dengan Allah Tuhan Robbil Alamin.
Kanjeng Nabi Khaidir kembali melanjutkan wejanganya, “Setelah hilang empat macam warna ada hal lain lagi nyala satu delapan warnanya”. Syekh Malaya berkata, “Apakah namanya, nyala satu delapan warnanya, apakah yang dimaksud sebenarnya? Nyalanya semakin jelas nyata, ada yang tampak berubah-ubah warna menyambar-nyambar, ada yang seperti permata yang berkilau tajam sinarnya”. Sang Kanjeng Nabi Khaidir berpesan, “Nah, itulah sesungguhnya Esa. Pada dirimu sendiri sudah tercakup makna di dalamnya, rahasianya terdapat pada dirimu juga, serta seluruh isi bumi tergambar pada tubuhmu dan juga seluruh alam semesta. Dunia kecil tidak jauh berbeda. Ringkasnya, utara, barat, selatan, timur, atas serta bawah. Juga warna hitam, merah, kuning dan putih itulah isi kehidupan dunia. Didunia kecil dan alam semesta, dapat dikatakan semua isinya. Kalau ditimbang dengan yang ada dalam dirimu ini, kalau hilang warna yang ada, dunia kelihatan kosong kesulitannya tidak ada, dikumpulkan kepada wujud rupa yang satu, tidak lelaki tidak pula perempuan. Sama pula dengan bentuk yang ada ini, yang bila dilihat berubah-ubah putih. Camkanlah dengan cermat semua itu”. Syekh Malaya mengamati, “yang seperti cahaya berganti-ganti kuning, cahayanya terang benderang memancar, melingkar mirip pelangi, apakah itu yang dimaksudkan wujud dari Dzat yang dicari dan didambakan? yang merupakan hakikat wujud sejati?”. Kanjeng Nabi Khaidir menjawab dengan lemah lembut, “itu bukan yang kau dambakan, yang dapat menguasai segala keaadaan. Yang kamu dambakan tidak dapat kamu lihat, tiada bentuk apalagi berwarna, tidak berwujud, tidak dapat ditangkap mata, juga tidak bertempat tinggal hanya dapat dirasakan oleh orang yang awas mata hatinya, hanya berupa pengambaran-pengambaran-(simbol) yang memenuhi jagad raya, dipegang tidak dapat. Bila yang kamu lihat, yang nampak seperti berubah-ubah putih, yang terang benderang sinarnya, memancarkan sinar yang menyala-nyala. Sang Permana itulah sebutannya, hidupnya ada pada dirimu. Permana itu menyatu pada dirimu sendiri, tempat tinggalnya pada ragamu. Jika Sang Permana meninggalkan tempatnya, tidak ikut suka dan duka, juga tidak ikut sakit dan menderita raga menjadi tak berdaya dan pastilah lemah seluruh badanm. Permanalah, yang merasakan kehidupan yang mengerti rahasia di dunia. Dan itulah yang sedang mengenai pada dirimu seperti diibaratkan pula pada hewan yang tumbuh di sekitar raga hidupnya karena adanya Permana, dihidupi oleh nyawa yang mempunyai kelebihan mengusai seluruh badan. Permana itu bila mati ikut menggung, namun bila telah hilang nyawanya kemudian yang hidup hanya sukma atau nyawa yang ada. Kehilangan itulah yang didapatkan, kehidupan nyawalah yang sesungguhnya, yang sudah berlalu diibaratkan seperti rasanya pohon yang tidak berbuah, sang Permana yang mengetahui dengan sadar, sesungguhnya satu asal. Menjawablah Syekh Malaya, “Kalau begitu manakah warna bentuk sebenarnya?” kanjeng Nabi Khaidir berkata, “Hal itu tidak dapat kamu pahami di dalam keadaan nyata semata-mata, tidak semudah itu untuk mendapatkannya”, Syekh Malaya menyela pembicaraan  “Saya mohon pelajaran lagi, sampai saya paham betul, sampai putus. Saya menyerahkan hidup dan mati, demi mengharapkan tujuan yang pasti, jangan sampai tanpa hasil”.
Kanjeng Nabi Khaidir berkata lembut dan manis yang isinya bercampur perlambang dan sindiran, “Misalnya ada orang membicarakan sesuatu hal, lotnya seharusnya baik, nyatanya lotnya justru merupakan bumbunya yang bercampur dengan rahasia yang terasa sebagai jiwa suci. Nubuwah yang penuh rahasia itu sebenarnya rahasia ini, Yaitu “ketika masih berada di sifat jamal ialah jauhar awal bila sudah keluar menjadi jauhar akhir yang sudah dewasa, yang awal itulah rahasia sejati”. Si jauhar akhir itu ternyata dalam satu wujud, satu mati dan satu hidup dengan jauhar, ketika dalam kesatuan satu wujud, satu raksa, satu hidup menyatu dalam keadaan sehidup-semati. Segala ulah jauhar akhir selamanya bersikap pasrah, sedangkan jauhar batin ini ialah yang dipuji dan disembah hanyalah Allah Tuhan Robbil Alamin yang sejati. Tidak ada sama sekali rasa sakit karena sebenarnya kamu ini nukad ghaib. Nukad ghaib ialah ketika di masa awal atau kuno, ia tidak hidup juga tidak mati. Sebenarnya yang dikatakan nukad itu, tidak lain ghaib jugalah namanya. Setelah datangnya nukad itu, yang sudah hidup sejak dulu, dicipta menjadi Alif. Alif itu sendiri jisim latif. Dan keberadaanmu yang sebenarnya itulah yang disebut atau dinamakan neqdu”. Sambil menghela nafas Kanjeng Nabi Khaidir berkata pelan, “Sekarang jauhar sejati, yaitu namamu itu semasa hidup ialah syahadat jati. Dalam hidup dan kehidupanmu disebut juga darah hidup. Darah hidup itu sendiri ialah yang dinamakan Rasulullah rasa sejati. Syahadat jati adalah darah, tempat segala Dzat atau makhluk merasakan rasa yang sebenarnya tentang hidup dan kehidupan. Yang dikenal Jibril-Muhammad-Allah Tuhan Robbil Alamin. Sedangkan keempatnya adalah yang disebut darah hidup. Jelasnya coba perhatikan orang mati! Apa darahnya masih ada? darah itu kini hilang, hilangnya bersama atau menyatu dengan sukma. Sukma atau ruh hilang dan kembali pada Alif itu disebut Ruh Idhafi. Pengertian jisim Latif ialah Jisim Angling yang sudah ada terdahulukala yaitu Alif yang disebut Angling. Padahal alif itu tanpa mata, tidak berkata-kata dan tidak mendengar, tanpa perilaku dan tidak melihat. Dan itulah Alif, yang artinya, menjadi Alif itu karena dijabarkan atau dikembangkang. Bukankah ruh Idhafi itu bagian Dzatullah”?. Kanjeng Nabi Khaidir berkata, “Adapun wujud sesungguhnya alif itu, asal muasalnya berasal dari jauhar alif itu yang dinamakan Kalam Karsa. Timbullah hasrat kehendak Allah Tuhan Robbil Alamin untuk menjadikan terwujudnya dirimu. Dengan adanya wujud dirimu menunjukkan akan adanya Allah Tuhan Robbil Alamin sesungguhnya. Allah Tuhan Robbil Alamin tidak mungkin ada dua apalagi tiga. Siapa yang mengetahui asal muasal kejadian dirinya, saya berani memastikan bahwa orang itu tidak akan membanggakan dirinya sendiri (menjadi sombong)! Adapu sifat jamal (sifat yang bagus) itu ialah, sifat yang selalu berusaha menyebutkan bahwa pada dasarnya adanya dirinya itu, karena adanya yang mewujudkan keberadannya”. Kanjeng Nabi Khaidir menandaskan penjelsannya, “Demikianlah yang difirmankan Allah Tuhan Robbil Alamin kepada Nabi Muhammad yang menjadi kekasih-Nya, bunyi firman-Nya sebagai berikut : “kalau tidak ada dirimu, Saya (Allah Tuhan Robbil Alamin) tidak akan dikenal atau disebut”. Hanya dengan sebab adanya kamulah yang menyebut akan keberadaan-Ku. Sehingga kelihatan seolah-olah satu dengan dirimu. Adanya Aku (Allah Tuhan Robbil Alamin), menjadikan ada dirimu, Wujudmu menunjukkan adanya wujud Dzat-Ku. Dan untuk menjelaskan jati dirimu, tidakkah kau sadari, bahwa hampir ada persamaan Asma-Ku yang baik-(Asmaul Husna) dengan sebutan manusia yang baik itu semua kau maksudkan untuk memudahkan pengambaran perwujudan tentang Diri-Ku. Padahal kau tahu, Aku berada dengan dirimu, yang tak mungkin dapat disamakan satu sama lain. Dan kamu pasti mengalami dan tidak mungkin dapat melukiskan atau menyebutkan Asma-Ku dengan setepat-tepatnya. Namamu yang baik dapat menyerupai nama-Ku yang baik. Selanjutnya Kanjeng Nabi Khaidir bertanya, “Apakah kamu sudah dapat meraih sebutan nama yang baik itu? baik di dunia maupun di akhirat? kamu ini merupakan penerus atau pewaris Muhammad Rasulullah, sekaligus Nabi Allah Tuhan Robbil Alamin. Ya Illahi, ya Allah Tuhan Robbil Alamin ya Tuhanku”.
Kanjeng Nabi Khaidir melanjutkan memberi penjelasan pada Sunan Kalijaga, “Tanda-tanda adanya Allah Tuhan Robbil Alamin itu, ada pada dirimu sendiri harap direnungkan dan diingat betul. Asal mula Alif itu akan menjadikan dirimu bersusah-payah selagi hidup, Budi Jati sebutannya. Yang tidak terasa, menimbulkan budi atau usaha untuk mengatasi lika-liku kehidupan. Bagi orang yang senang membicarakan dan memuji dirinya sendiri, akan dapat melemahkan semangat usahanya, antara tidak dan ya, penuh dengan kebimbangan. Sedang yang dimaksudkan dengan jauhar budi (mutiara budi) ialah, bila sudah mengetahui maksud dan budi iman yaitu menjalankan segala tingkah laku dengan didasari keimanan kepada Allah Tuhan Robbil Alamin. Alif tercip karena sudah menjadi ketentuan yang sudah digariskan. Sesungguhnya Alif itu, tetap kelihatan apa adanya dan tidak dapat berubah. Itulah yang disebur Alif. Adapun bila terjadi perubahan, itulah yang disebut Alif Adi, yang menyesuaikan diri dengan keadaanmu Mutiara awal kehidupan (jauhar awal) dimaksudkan dengan kehidupan tempo-dulu yang betul-betul terjadi sebagaimana tinja junub dan jinabat. Jauhar awal ibarat bebauan atau aroma, akan tiba saatnya tidak boleh tidak akan kita laksanakan dan rasakan di dalam kehidupan kita didunia. Jelasnya, kehidupan yang telah digariskan sebelumnya oleh jauhar itu, telah memuat garis hidup dan mati kita. Segalanya telah ditentukan di dalam jauhar awal.
Dari keterangan tentang jauhar awal tadi, tentu akan menimbulkan pertanyaan, diantaranya, mengapa kamu wajib shalat di dalam dunia ini? Penjelasannya demikian : Asal mula diwajibkan menjalankan shalat itu ialah disesuaikan dengan ketentuan di zaman azali, kegaiban yang kau rasakan, bukankah juga berdiri tegak, bersidakep mencipkatakan keheningan hati, menyatukan konsentrasi, menyatukan segala gerakmu? Ucapanmu juga kau satukan, akhirnya kau rukuk tunduk kepada yang menciptakanmu. Merasakan malu, sehingga menimbulkan keluar air matamu yang jernih, menjadikan tenanglah segala kehidupan ruhmu. Rahasi iman dapat kau resapi setelah merasakan semua itu, mengapa harus sujud ke bumi? Pangkal mula dikerjakan sujud bermula adanya cahaya yang memberi pertanda pentingnya sujud. Yaitu merasa berhadapan dengan wujud Allah Tuhan Robbil Alamin, biarpun tidak dapat melihat Allah Tuhan Robbil Alamin dengan sesungguhnya, yakinlah bahwa Allah Tuhan Robbil Alamin melihat segala gerak kita-(ikhsan). Dengan adanya agama Islam yang dimaksudkan, agar makhluk yang ada di bumi dan di langit termasuk dirimu itu, beribadah sujud kepada Allah Tuhan Robbil Alamin dengan hati yang ikhlas sampai kepalamu diletakkan di muka bumi, bumi beserta segala keindahannya tidak tampak dihadapanmu, hatimu hanya satu tujuan ingat Allah Tuhan Robbil Alamin semata-mata. Yang demikianlah seharusnya perasaanmu, senantiasa merasa sujud dimuka bumi ini. Mengapa pula menjalankan duduk diam seakan-akan menunggu sesuatu? Melambungkan pengosongan diri dengan harapan ketemu Allah Tuhan Robbil Alamin. Walaupun sebenarnya tidak dapat mempertemukan dengan Allah Tuhan Robbil Alamin.pada Haqnya Allah Tuhan Robbil Alamin yang kau sembah itu betul-betul ada, lalu berucap kalimat : “Ashaduallah Illahaillallah Muhammadararosulullah”.
Jika engkau sudah memahami, “Ashaduallah Illahaillallah” itu maksudnya : yang ada hanya Allah SWT berarti dirimu kini sudah tiada/mati yang disebut dengan Hari Akhir, maka terhapuslah segala yang engkau punya termasuk nama yang kau sandang sekarang ini yang ada tinggal wadah(Qhadar), baik dan buruknya milik Allah Tuhan Robbil Alamin, sebab yang ada hanyalah Allah Tuhan Robbil Alamin tempat engkau berserah diri. Dan jika engkau sudah memahami, “Muhammadarasulullah” itu maksunya : Jikalau perasaan wujud dirimu masih ada itulah wujud sesunggungnya : Muhammad Rasulullah (khalifah dimuka bumi ini).
Hadis Kurdsi : “ Antal mautukoblal maut” artinya matilah sebelum mati.
Maksudnya : Jika engkau sudah memahami janganlah sekali-kali dirimu menganggap sebagai Allah Tuhan Robbil Alamin, dan jangan juga menganggap sebagai Muhammad Rasulullah engkau sudah memahami detik ini engkau sudah tiada-(mati), inilah yang sesungguhnya dikatakan kematian sempunna. Hanya kepada Allah Tuhan Robbil Alamin-lah tempat kamu mengabdikan diri, “innasolati wanusuki wama yayah wama mati lillahirobbil alamin” dengan sesungguhnya Haq disebut Iman Hidayah. Jadikanlah sepanjang hidupmu berikhtiar menggapai kebaikan, keindahan juga kebahagiaan apapun yang kau inginkan tanpa kenal menyerah, namun jika sebaliknya yang kau dapatkan (kau rasakan) maka berserah dirilah Ihklas seihklas-ihklasnya menyerahkan diri dalam keredoan Allah Tuhan Robbil Alamin, itulah sesunggunya Haq Iman Hidayah-mu dari Allah Tuhan Robbil Alamin sebagai perintah Tuhan kepada hambanya yang memang wajib engkau jalani. Untuk menemukan rahasia (rahsa) yang sebenarnya herus jeli, sebab antara rahasia yang satu berbeda dengan rahasia yang lain. Dari Allah Tuhan Robbil Alamin-lah Nabi Muhammad mengetahui segala rahasia yang tersembunyi. Nabi Muhammad sebagai makhluk yang dimuliakan Allah Tuhan Robbil Alamin. Beliu tidak pernah meninggalkan sholat maka kemulyaan untuknya, tidah lepas dalam berpuasa (shabar) dimuliakan makhluk-Nya, mau mengeluarkan shodagoh Dimuliakan makhluk-Nya, dan mampu melaksanakan Haji dimuliakan makhluk-Nya”.
Kanjeng Nabi Khaidir berhenti sejenak, lalu berkata “matahari berbeda dengan bulan, perbedaannya terdapat pada cahaya yang dipancarkannya. Sudahkah hidayah iman terasa dalam dirimu? Tauhid adalah pengetahuan penting untuk menyembah pada Allah Tuhan Robbil Alamin, juga makrifatullah harus kita miliki untuk mengetahui kejelasan yang terlihat, ya ru’yat (melihat dengan mata telanjang) sebagai saksi adanya yang terlihat dengan nyata. Maka dari itu dalami sifat dari Allah Tuhan Robbil Alamin, sifat Allah yang sesungguhnya yang Asli, asli dari Allah Tuhan Robbil Alamin. Sesungguhnya Allah Tuhan Robbil Alamin itu, Tuhan yang hidup. Segala afalnya (perbuatanya) adalah bersal dari Allah Tuhan Robbil Alamin. Itulah yang dimaksud dengan ru’yati. Kalau hidupmu senantiasa kamu gunakan ru’yat, maka itu namanya khairat (kebajikan hidup). Makrifatullah itu hanya ada di dunia, Jauhar awal khairat (mutiara awal kebajikan hidup), sudah berhasil engkau dapatkan?. Untuk itu secara tidak langsung kamu sudah mendapatkan pengawasan kamil (penglihatan yang sempurna). Insan Kamil (manusia yang sempurna) berasal dari Dzatullah (Dzatnya Allah Tuhan Robbil Alamin). Sesungguhnya ketentuan ghaib yang tersurat, adalah kehendak Dzat yang sebenarnya. Sifat Allah Tuhan Robbil Alamin berasal dari Dzat Allah Tuhan Robbil Alamin. Dinamakan Insan Kamil kalau mengetahui keberadaan Allah Tuhan Robbil Alamin itu. Bilamana tidak tertulis namamu, di dalam nuked ghaib insan kamil, itu bukan berarti tidak tersurat. Ya, itulah yang dinamakan puji budi (usaha yang terpuji). Berusaha memperbaiki hidup, akan menjadikan kehidupan nyawamu semakin baik. Serta badannya, akan disebut badan Muhammad, yang mendapat kesempurnaan hidup”.
Syekh Malaya berkata lemah lembut, “mengapa sampai ada orang mati yang dimasukkan neraka? Mohon penjelasan yang sebenarnya”. Kanjeng Nabi Khaidir berkata dengan tersemyum manis, “Wahai Malaya! Maksudnya begini. Neraka jasmani juga berada di dalam dirimu sendiri, dan yang diperuntukkan bagi siapa saja yang belum mengenal dan meniru ahlaqqul Nabiyullah, hanya ruh yang tidak mati. Hidupnya ruh jasmani itu jika tidak meniru ahlaqqul Nabiyullah sama dengan sifat hewan, maka akan dimasukkan ke dalam neraka. Juga yang mengikuti bujuk rayu iblis, atau yang mengikuti nafsu yang merajalela seenaknya tanpa terkendali, tidak menempatkan sesuatu itu pada tempatnya-(tertib) sama juga tidak  mengikuti petunjuk Allah Tuhan Robbil Alamin. Mengandalkan ilmu saja, tanpa memperdulikan sesama manusia keturunan Nabi Adam, itu disebut iman tadlot. Ketahuilah bahwa umat manusia itu termasuk badan jasmanimu. Pengetahuan tanpa guru itu, ibarat orang menyembah tanpa mengetahui yang disembah. Dapat menjadi kafir tanpa diketahui, karena yang disembah kayu dan batu, tidak mengerti apa hukumnya, itulah kafir yang bakal masuk neraka jahanam.
Adapun yang dimaksudkan Rud Idhafi adalah sesuatu yang kelak tetap kekal sampai akhir nanti kiamat dan tetap berbentuk ruh yang berasal dari ruh Allah Tuhan Robbil Alamin. Yang dimaksud dengan cahaya adalah yang memancar terang serta tidak berwarna, yang senantiasa menerangi hati penuh kewaspadaan yang selalu mawas diri atau introspeksi mencari kekurangan diri sendiri serta mempersiapkan akhir kematian nanti. Merasa sebagai anak Adam yang harus mempertanggungjawabkan segala perbuatan. Ruh Idhafi sudah ada sebelum tercipta. Syirik itu dapat terjadi, tergantung saat menerima sesuatu yang ada, itulah yang disebut Jauhar Ning. keenamnya jauhar awal. Jauhar awal adalah mutiara ibaratnya. Mutiara yang indah penghias raga nampak menarik. Mutiara akan tampak indah menawan. Bermula dari ibarat ketujuh, dikala mendengarkan sabda Allah Tuhan Robbil Alamin, maka Ruh Idhafi akan menyesuaikan, yang terdapat di dalam Dzat Allah Tuhan Robbil Alamin Yang Mutlak. Ruh serba pasrah kepada Dzatullah, itullah yang dimaksudkan Ruh Idhafi. Jauhar awal itu pula, yang menimbulkan Shalat Daim. Shalat Daim tidak perlu mengunakan air wudhu, untuk membersihkan khadas tidak disyaratkan. Itulah shalat batin yang sebenarnya, diperbolehkan makan tidur syahwat maupun buang kotoran. Demikianlah tadi cara shalat Daim. Perbuatan itu termasuk hal terpuji, yang sekaligus merupakan perwujudan syukur kepada Allah Tuhan Robbil Alamin. Jauhar tadi bersatu padu menghilangkan sesuatu yang menutupi atau mempersulit mengetahui keberadaan Allah Tuhan Robbil Alamin. Adanya itu menujukkan adanya Allah Tuhan Robbil Alamin, yang mustahil kalau tidak berwujud sebelumnya. Kehidupan itu seperti layar dengan wayangnya, sedang wayang itu tidak tahu warna dirinya. Akibat junub sudah bersatu erat tetap bersih badan jisimmu. Muhammad badan Allah Tuhan Robbil Alami,  Nama Muhammad tidak pernah pisah dengan nama Allah Tuhan Robbil Alamin. Dapat pula disebut utusan Allah Tuhan Robbil Alamin, Nabi Muhammad juga termasuk badan mukmin atau orang yang beriman. Ruh mukmin identik pula dengan Ruh Idhafi dalam keyakinanmu, Disebut iman maksum kalau sudah mendapat ketetapan sebagai panutan jati. Bukankah demikian itu pengetahuanmu? Kalau tidak hidup begitu, berarti itu sama dengan hewan yang tidak tahu adanya sesuatu di masa yang telah lewat. Kelak, karena tidak mengetahui ke-Islaman, maka matinya tersesat, kufur serta kafir badannya. Namun bagi yang telah mendapatkan pembelajaran ini, segala permasalahan dipahami lebih seksama baru dikerjakan, Allah Tuhan Robbil Alamin itu tidak berjumlah tiga. Yang menjadi suri tauladan adalah Nabi Muhammad. Bukankah sebenarnya orang kufur itu, mengingkari empat masalah prinsip.
Di antaranya :
  • Bingung karena tiada pedoman manusia yang dapat diteladani.
  • Kekafiran mendekatkan pada kufur kafir.
  • Fakhir dekat dengan kafir.
  • Sebabnya karena kafir itu, buta dan tuli tidak mengerti tentang surga dan neraka.
Fakhir tidak akan mendekatkan pada Tuhan. Tidak mungkin terwujud pendekatan ini, juga dipastikan tidak menyembah dan memuji, karena kekafirannya. Seperti itulah kalau fakhir terhadap Dzatullah. Dan sesungguhnya Allah Tuhan Robbil Alamin, mematikan kefakhiran manusia, kepastiannya ada di tanga Allah Tuhan Robbil Alamin semata-mata. Adapun wujud Dzatullah itu, tidak ada satu makhluk pun yang mengetahui kecuali Allah Tuhan Robbil Alamin sendiri. Ruh Idhafi menimbulkan iman. Ruh Idhafi berasal dari Allah Tuhan Robbil Alamin Yang Maha Esa, itulah yang disebut iman tauhid, yaitu meyakini adanya Allah Tuhan Robbil Alamin juga adanya Muhammad sebagai Rasulullah. Tauhid hidayah yang sudah ada padamu, menyatu dengan Allah Tuhan Robbil Alamin, baik di dunia maupun di akhirat. Dan kamu harus meyakini bahwa Allah Tuhan Robbil Alamin itu ada dalam dirimu. Ruh Idhafi ada di dalam dirimu itu Makrifatullah sebutannya, dalam kehidupanmu disebut Syahadat, sebab hidup tunggal didalam hidup, sujud rukuk sebagai penghiasnya. Rukuk berarti dekat atau menuju kepada Allah Tuhan Robbil Alamin, Sujut berarti Engkau menyatukan dirimu kepada Allah Tuhan Robbil Alamin. Penderitaan yang selalu menyertai menjelang ajal tidak akan terjadi padamu, jangan takut menghadapi sakaratil maut. Jangan ikut-ikutan takut menjelang pertemuanmu dengan Allah Tuhan Robbil Alamin. Perasaan takut itulah yang disebut dengan sekarat.
Ruh Idhafi itu tidak akan mati, hidup mati, mati hidup. Akuilah sedalam-dalamnya bahwa keberadaanmu itu, terjadi karena Allah Tuhan Robbil Alamin itu hidup dan menghidupi dirimu, dan menghidupi segala yang hidup. Sastra Alif-(huruf alif) harus dimintakan penjelasannya pada guru-(ahlinya). Jabar jer-nya pun harus berani susah payah mendalaminya. Terlebih lagi pengetahuan tentang kafir dan syirik! Sesungguhnya semua itu, tidak dapat dijelaskan dengan tepat maksud sesungguhnya. Orang yang menjelaskan syariat itu-(ahlinya) berarti sudah mendapatkan anugrah sifat Allah Tuhan Robbil Alamin. Sebagai sarana pengabdian hamba kepada Allah Tuhan Robbil Alamin. Yang menjalankan shalat sesungguhnya raga, raga yang shalat itu terdorong oleh adanya iman yang hidup pada diri orang yang menjalankannya. Seandainya nyawa tidak hidup, maka Lam Tamsyur-(tidak akan menolong) semua perbuatan yang dijalankan. Secara yang tersurat, shalat itu adalah perbuatan dan kehendak orang yang menjalankan, namun sebenarnya Allah Tuhan Robbil Alamin-lah yang berkehendak atas hambanya itu. Itulah hakikat dari Tuhan pencipta Ruh Idhafi berada di tangan orang mukmin. Semua ruh berada di tangan-Nya, yaitu terdapat pada Ruh Idhafi. Ruh Idhafi adalah sifat jamal (sifat yang bagus atau indah) keindahan yang berasal Dzatullah. Ruh Idhafi nama sebuah tingkatan (maqom), yang tersimpan pada diri utusan Allah Tuhan Robbil Alamin-(Rasulullah). Syarat jisim lathif (jasad halus) itu, harus tetap hidup dan tidak boleh mati. Cahayanya berasal dari ruh itu, yang terus menerus meliputi jasad. Yang mengisayaratkan sifat jalal (sifat yang perkasa) dan sekaligus mengisyaratkat adanya sifat jamal (sifat keindahan). Jauhar awal mayit (mutiara awal kematian) itu, memberi isyarat hilangnya diri ini. Setelah semua menemui kematian di dunia, maka akan berganti hidup di akherat. Kurang lebih tiga hari perubahan hidup itu pasti terjadi. Asal mula manusia terlahir, dari adanya Ayah, Ibu serta Tuhan Yang Maha Pencipta. Satu kelahiran berasal dari tiga asal lahir. Yaitulah isyarat dari tiga hari. Setelah dititipkan selama tujuh hari, maka dikembalikan kepada yang meninipkan (yang memberi amanat). Titipan itu harus seperti sedia kala. Bukankah tauhid itu sebagai sarana untuk makrifaullah? Titipan yang ketiga puluh hari itu juga termasuk juga titipan yang ada, hanya kemiripan dengan yang tujuh hari, mengeluarkan air mata karena menyesali sewaktu masih hidup. Seperti teringat semasa kehidupan itu berasal dari Nur, yang mana cahayanya mewujudkan dirimu. Hal itulah yang menimbulkan kesedihan dan penyesalan yang berkepanjangan, tak terkecuali siapun yang merasakan itu semua, sebagaimana kamu mati, saya merasa kehilangan. Mati atau hilang bertepatan hari kematian yang keempat puluh hari, lebih tepat untuk melukiskan persamaan sesama makhluk hidup secara keseluruhannya? Allah Tuhan Robbil Alamin dan Muhammad semuannya berjumlah satu, seratuspun dapat dilukiskan seperti satu bentuk, seperti diibaratkan dengan adanya cahaya yang bersember dari cahaya Muhammad yang sesungguhnya. Sama hal pada saat kamu memohon sesuatu, ruh jasad hilang di dalam kehadirat Tuhan Yang Maha Pemberi. Tepat pada hari keseribu, tidak ada yang tertinggal. Kembalinya pada Allah Tuhan Robbil Alamin sudah dalam keaadaan yang sempurna. Sempurna seperti mula pertama dalam keadaan yang sempurna. Sempurna seperti mula pertama diciptakan”. Syekh Malaya terang hatinya, mendengarkan pembelajaran yang baru diterima dari gurunya Syekh Mahyuningrat Kanjeng Nabi Khaidi,. sangkingkan bahagia hatinya sehingga beliu belum mau keluar dari dalam tubuh Kanjeng Nabi Khaidir. Syekh Malaya menghaturkan sembah, sambil berkata manis seperti gula madu. “Kalau begitu hamba tidak mau keluar dari raga dalam tuan. Lebih nyaman di sini saja yang bebas dari sengsara derita, tiada selera makan tidur, tidak merasa ngantuk dan lapar, tidak harus bersusah payah dan bebas dari rasa pegal dan nyeri, yang terasa hanyalah rasa nikmat dan manfaat”. Kanjeng Nabi Khaidir memperingatkan, “yang demikian tidak boleh, kalau tanpa kematian”.
Kanjeng Nabi Khaidir melanjutkan memberi penjelasan pada Sunan Kalijaga, “kalau begitu yang awas sajalah terhadap hambatan upaya, jangan sampai kau kembali. Memohonlah yang benar dan waspada. Anggaplah kalau sudah kau kuasai, jangan hanya digunakan dengan dasar bila ingat saja, karena hal itu sebagai rahasia Allah Tuhan Robbil Alamin. Tidak diperkenankan mengobrol kepada sesama manusia, kalau tanpa seizin-Nya! Jangan sampai terlanjur! yang lebih mulia lagi jangan sampai membanggakan diri! Jangan peduli terhadap gangguan, cobaan hidup! Tapi justru terimalah dengan sabar! Hidup tanpa ada yang menghidupi kecuali Allah Tuhan Robbil Alamin saja. Tiada antara lamanya tentang adanya itu. Bukankah sudah berada di tubuh? Sungguh, bersama lainnya selalu ada dengan kau! Tak mungkin terpisahkan! Kemudian tidak pernah memberitahukan darimana asalnya dulu. Yang menyatu dalam gerak perputaran bawana. Cara mendengarnya adalah denga ruh sejati, tidak menggunakan telinga. Cara melatihnya, juga tanpa dengan mata. Adupun telingannya, matanya yang diberikan oleh Allah Tuhan Robbil Alamin. Ada padamu itu. Secara batinnya ada pada sukma itu sendiri. Memang demikianlah penerapannya. Ibarat seperti batang pohon yang dibakar, pasti ada asap apinya, menyatu dengan batang pohonnya. Ibarat air dengan alunnya. Seperti minyak dengan susu, tubuhnya dikuasai gerak dan kata hati. Demikian pun dengan Hyang Sukma, sekiranya kita mengetahui wajah hamba Tuhan dan sukma yang kita kehendaki ada, diberitahu akan tempatnya seperti wayang ragamu itu. Karena datanglah segala gerak wayang. Sedangkan panggungnya jagad. Bentuk wayang adalah sebagai bentuk badan atau raga. Bergerak bila digerakkan. Segala-galanya tanpa kelihatan jelas, perbuatan dengan ucapan. Yang berhak menentukan semuanya, tidak tampak wajahnya. Kehendak justru tanpa wujud dalam bentuknya. Karena sudah ada pada dirimu. Permisalan yang jelas ketika berhias, yang berkaca itu Hyang Sukma, adapun bayangan dalam kaca itu ialah dia yang bernama manusia sesungguhnya, terbentuk di dalam kaca. Lebih besar lagi pengetahuan tentang kematian ini dibandingkan dengan kesirnaan jagad raya, karena lebih lembut seperti lembunya air. Bukankah lebih lembut kematian manusia ini? Artinya lembut kesirnaan manusia? Artinya lebih dari menentukan segalanya. Sekali lagi artinya lembut ialah sangat kecilnya. Dapat mengenai yang kasar dan yang kecil. Mencakup semua yang merangkak, melata tiada bedanya, benar-benar serba lebih. Lebih pula dalam menerima perintah dan tidak boleh mengandalkan pada ajaran dan pengetahuan. Karena itu bersungguh-sungguhlah menguasainya. Pahamilah liku-liku seolah tingkah kehidupan manusia! Ajaran itu sebagai ibarat benih, sedangkan yang diajari ibarat lahan, diibaratkan juga kacang kedela, yang disebar di atas batu, kalau batunya tanpa tanah pada saat kehujanan dan kepanasan, pasti tidak tidak akan tumbuh. Tapi bila kau bijaksana, melihat dirimu musnahkanlah pada matamu! Jadikanlah penglihatanmu sukma dan rasa. Demikian pula wujudmu, suaramu. Serahkan kembali kepada yang Mempunyai suara! Justru kau hanya mengakui saja sebagai pemiliknya. Sebenarnya hanya mengatasnamai saja. Maka dari itu kau jangan memiliki kebiasaan yang menyimpang, kecuali hanya kepada Hyang Agung. Dengan demikian kau Hangraga Sukma yaitu kata hatimu sudah bulat menyatu dengan kawula Gusti Tuhan Robbil Alamin. Bicarakanlah manurut pendapatmu! Bila pendapatmu benar-benar meyakinkan, bila masih merasakan sakit dan was-was, berarti kejangkitan bimbang yang sebenarnya. Bila sudah menyatu dalam satu wujud. Apa kata hatimu dan apa yang kau rasakan. Apa yang kau pikir terwujud ada. Yang kau cita-citakan tercapai. Berarti sudah benar untukmu. Sebagai upah atas kesanggupanmu sebagai khalifah di dunia. Bila sudah memahami dan menguasai amalan dan ilmu ini, hendaknya semakin cermat dan teliti atas berbagai masalah. Masalah itu satu tempat dengan pengaruhnya. Sebagai ibaratnya sekejap pun tak boleh lupa. Lahiriah kau landasilah dengan pengetahuan empat hal. Semuanya tanggapilah secara sama. Sedangkan kelimanya adalah dapat tersimpan dengan baik, berguna dimana saja! Artinya mati di dalam hidup. Atau sama dengan hidup di dalam mati. Ialah hidup abadi. Yang mati itu nafsunya. Lahiriah badan yang menjalani mati. Tertimpa pada jasad yang sebenarnya. Kenyataannya satu wujud. Raga sukma, sukma muksa. Jelasnya mengalami kematian! Syekh Malaya, terimalah hal ini sebagai ajaranku dengan senang hatimu! Anugrah berupa wahyu akan datang kepadamu. Seperti bulan yang diterangi cahaya temaram. Bukankah turunnya wahyu meninggalkan kotoran? Bersih bening, hilang kotorannya”. Kemudian Kanjeng Nabi Khaidir berkata dengan lembut dan tersenyum. “Tak ada yang dituju, semua sudah tercakup haknya. Tidak ada yang diharapkan dengan keprawiraan, kesaktian semuanya sudah berlalu. Toh semuanya itu alat peperangan”.
Habislah sudah wejangan Kanjeng Nabi Khaidir. Syekh Malaya merasa sungkan sekali di dalam hati. Mawas diri ke dalam dirinya sendiri. Kehendak hati rasanya sudah mendapat petunjuk yang cukup. Rasa batinya menjelajah jagad raya tanpa sayap. Keseluruh jagad raya, jasadnya sudah terkendali. Menguasai hakekat semua ilmu. Misalnya bunga yang masih lama kuncup, sekarang sudah mekar berkembang dan baunya semerbak mewangi. Karena sudah mendapat San Pancaretna, kemudian Sunan Kalijaga disuruh keluar dari raga Kanjeng Nabi Khaidir kembali ke alamnya semula”. Lalu Kanjeng Nabi Khaidir berkata, “He..y, Malaya, kau sudah diterima Hyang Sukma. Berhasil menyebarkan aroma Kasturi yang sebenarnya. Dan rasa yang memanaskan hatimu pun lenyap. Sudah menjelajahi seluruh permukaan bumi. Artinya godaan hati ialah rasa qonaah yang semakin dimantapkan. Ibarat memakai pakaian sutra yang indah. Selalu mawas diri. Semua tingkah laku yang halus. Diserapkan kedalam jiwa, dirawat seperti emas. Dihiasi dengan keselamatan, dan dipajang seperti permata, agar mengetahui akan kemauan berbagai tingkah laku manusia. Perhaluslah budi pekertimu atau akhlak ini! Warna hati kita yang sedang mekar baik, sering dinamakan Kasturi Jati. Sebagai pertanda bahwa kita tidak mudah goyah, terhadap gerak-gerik, sikap hati yang ingin menggapai sesuatu tanpa ilmu, ingin mendalami tentang ruh itu justru keliru. Lagi pula secara penataan, kita itu ibaratnya busana yang dipakai sebagai kerudung. Sedangkan yang ikat kepala sebagai sarungmu. Kemudian terlibat ingatan ketika dulu. Ibarat mendalami mati ketika berada di dalam rongga ragaku. Tampak oleh Sunan Kalijaga cahaya. Yang warnanya merah dan kuning itu, sebagai hambatan yang menghadang agar gagal usaha atau ikhtiar atau cita-citanya. Dan yang putih di tengah itulah yang sebenarnya harus diikuti. Kelimanya harus tetap diwaspadai. Kuasailah seketika jangan sampai lupa! Bisa dipercaya sifatnya. Berkat kesediaanku berbuat sebagai penyekat. Untuk alat pembebas sifat berbangga diri. Yang selalu didambakan siang dan malam.
Jangan engkau menjadi pemuka agama yang ternyata salah dalam penafsiran. Dan penyampaian keterangannya? kau sudah benar, tak tahunya malah mematikan pengertian yang benar. Akibatnya terperosok dalam penerapannya. Jangan pula menjadi  pemuka agama yang ibaratnya menjadi murung, hanya sekedar mencari tempat bertengger saja, pada batang kayu yang baik rimbun, lebat buahnya, kuat batangnya, untuk kemuliaan hidup baru akhirnya di masyarakatkan. Ibaratnya seperti sekedar memperoleh kemuliaan sepele. Jadinya tersesat-sesat. malah memiliki jalan terpaksa. Jangan engkau menumpuk kekayaan harta dan istri banyak, memilih jalan menguasai putranya. Putra yang bakal menguasai hak asasi orang per orang. Berkeinginan mendapatkan yang serba lebih di dalam memiliki. Kalau demikian halnya, menurut pendapatku, belumlah engkau disebut pemuka agama yang berserah diri sepenuhnya kepada Allah Tuhan Robbil Alamin, tapi masih berkeinginan pribadi atau berambisi. Agar semua itu menjunjung harkat dan martabat. Tatanan yang tidak pasti, belum bisa disebut manusia utama. Yang demikian itu menurut anggapanmu dan perasaanmu mendapatkan kebahagiaan, kekayaan dan mengerti hak yang benar. Bila kemudian tertimpa kedudukan, terlanjur terbiasa. Memilih jalan sembarang tempat, tanpa mengahasilkan jerih payahnya dan tanpa hasil, dalam arti mengalami kegagalan total. Setidak-tidaknya menimbulkan kecurigaan.  Itulah kebiasaan ketika hidup didunia, ketika menghadapi datangnya maut, disitulah biasanya tidak kuat menerima ajal. Merasa berat meninggalkan kehidupan dunia yang tersangkal, masih lekat sekali pada kehidupan duniawi. Begitulah beratnya mencari kemuliaan, tidak boleh merasa terlekat kepada anak-istri, pada saat-saat nanti menghadap ajatnya salah menjawab pertanyaannya bumi, lebih baik jangan jadi manusia! Kalau matinya tanpa pertanggung jawaba, kau sudah merasa hatimu benar, akan hidup abadi tanpa hisab, tubuh bumi itu keterdiamannya tidak membantu, kesepiannya tidak mencair. Tidak mempedulikan pembicaraan orang lain yang ditujukan kepadamu, bagaimana hilang dan mati bersama raganmu ialah diidamkanmu, sehingga mempertinggi amalanmu, untuk mengejar keberhasilan. Tapi sayang tanpa petunjuk Allah Tuhan Robbil Alamin, apalagi hanya zikir semata, tidak disertai dukungan ilmu. Tapi yang perlu diingat bermula dari ingat pada saat awal mulanya. Semua yang tergelar ini berasal dari tiada. Manusia diciptakan lebih dari makhluk yang lain. Bukankah itu yang disebut rahasia atau rahsa? Manusia itu tidak paling mulia daripada ciptaan yang lain. Maka dari itu janganlah mudah terpengaruh oleh buah pikirmu yang bulat. Bulat atas segala gerak dan kehendak. Adapun isi jagad itu jangan mengira hanya manusia saja, tapi berisi segala macam titah. Hanya saja manusia itu satu. Penguasanya satu yang menghidupi jagad seisinya. Demikianlah tekad yang sempurna. Hei Syekh Malaya segeralah menyudahi! Kembalilah kau ke pulau Jawa! Bukankah sebenarnya kau mencari dirimu juga?. Syekh Malaya bergegas. Bersembah dan berkata dengan berbelas kasih untuk memenuhinya, yang disebut Kalingga Murda,”Hamba setia dan taat”. Kanjeng Nabi Khaidir lalu musnah dan lenyap. Syekh malaya tampak berdoa di samudera. Tapi tidak tersentuh air. Syekh Malaya sangat berjanji dalam hati atas peringatan atau ajaran sang guru yang sempurna. ia masih sangat ingat? Hasrat hati yang telah memiliki atau mengetahui ilmu kawekas. Isinya jagad telah terkuasai dalam hati, merasa mantap dan disimpan dalam ingatan. Sehingga serba mengetahui dan tak akan keliru lagi. Diresapi dalam jiwa dan dijunjung sampai mati. Ia telah lulus dari sumber aroma kasturi yang sebenarnya. Sehingga sifat panasnya hati lenyap. Sesudah itu Syekh Malaya kondur (pulang). Hatinya sudah tidak goyah lagi karena segala ajaran itu tampak jelas dalam hati. Ia tidak salah lagi melihat dirinya siapa sebenarnya. Penjelmaan jiwanya menyatu dalam satu wujud. Walau secara lahiriah dirahasiakan. Norma atau prilaku tata cara jiwa kesatria, berhasil dikuasai. Bukankah ia sudah menggunakan mata batinnya yang tajam atau peka? Ibarat hewan dengan bebannya! Sudah tak ada atau terjadi, kematian dalam kehidupan. Setelah bagaimana ia menerima ajaran gurunya. Sama sekali tidak diragukan lagi. Seluruh ajaran gurunya sudah tamat dan di kuasai dengan tersimpan dalam hati, serta diimankan dengan cermat. Mematuhi semua ajaran guru. Perbuatan, pikiran dan rasa bukankah diuji dalam hati yang suci dan bening? Benar-benar terasa sebagai anugrah Tuhan. Sesungguhnya sang guru benar-benar sudah hilang raganya, sudah tidak ada. Akan tetapi selalu terbayang dalam hatinya. Dan sudah ditetapkan sebagai kekasihnya. Adapun segala ketercelaan hati sudah lenyap. Rasanya tenanglah dunia dan akhirat. Karena kebersihan dan kesucian jiwa sudah diketemukan. Sukma suci dalam segala tingkah lakunya itu memahami sepaham-pahamnya, memahaminya lewat petunjuk? Sehingga tidak takut akan kematian yang sering timbul dalam buah pikiran? Ia sudah mengharapkan bahwa raganya akan ikhlas kalau kematian yang mulia. Yang diridhai oleh Allah Tuhan Robbil Alamin atau Sang Hyang Widi. Namun sebenarnya tidak ada tanggapan perasaan. Yaitu rasa seperti itu. Tiadanya pandang atau wawasan seperti itu. Bukankah sudah lenyap semuanya. Tinggal jiwa suci yang terpuji mulia? Mulia seperti zaman dahulu atau awalnya. Tidak meragukan kematian yang sebenarnya. Yang menjemput maut setiap saat. Tidak merasakan akan kematiannya. Toh yang rusak itu nafsu dan badan, jiwa hidup abadi dan aman sejahtera. Senang, mulia dan merdeka, semuanya itu sudah diterapkan dalam hati. Sehingga berpegang pada kuasa-Nya. Sudah mengetahui akan makna kematian yang sebenarnya, ia tidak merasa takut kapanpun maut menjemput. Yang sempurna ialah sudah aman, sejahtera, mulia, itulah makna yang sempurna. Yaitu tidak meninggalkan hak-Nya. Ketujuh alam sudah lenyap. Bukankah lenyapnya alam ini sudah jelas? Kini yang lain ibarat kau sajalah! Penguasa alam bukankah sudah kita ketahui? Yang bernama Abirawa yang artinya berkuasa dan berkehendak. Adapun alam yang keenam artinya ialah yang telah lenyap : timur, barat, utara, selatan, atas, bawah serta kayu dan batu dan diri sendiri. Bila kita telah mati yang ada hanya kosong dan sepi. Yang terdengar hanya deru angin, debur air dan kobaran api di alam dahana. Matahari, bulan, bukankah termasuk alam juga? Dua puluh tiga alam yang serba nafsu itu, semuanya habis belaka, bukankah sama dahulunya? Syekh Malaya sudah memahami hal itu semua? Kalau itu semua adalah alam serba nafsu. Dan alam yang sebenar-benarnya sudah jelas yaitu penguasa alam semua. Sedang penyelarasnya hanyalah alam anbiyak ini. Alam anbiyak itu baunya harum dan mewangi yang menyelaraskan alam. Menjadi terang dan mulia semua. Dan alam itu berarti tempat jiwa suci, terang, bersih. Itulah alam malakut. Artinya ialah sudah tiba menjelang alam kemuliaan. Ibarat ruangan, sekat sebagai pemisah. Adapun alam anbiyak ialah alam mulia yang masih akan digapai. Sifat hidup itulah kehidupannya. Tentang mana mirah mana intan. Sudah jelas nilai dari Kumala Adi. Yaitu sebagus-bagusnya warna dari intan itu sendiri. Lenyapnya bukankah sama dengan lainnya? Itulah alam anbiya.
Alang Alang Kumitir.
_____ oo0 by DODI 0oo _____

Bersambung ke Halaman Berikutnya Klik disini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar